Beberapa hari ini larut menyelami buku humaniora klasik dari timur karya Yoonje Cho yang berjudul "Classic Wisdom". Sebuah buku menarik berisi nasihat dan prinsip-prinsip hidup yang dipegang oleh para pemimpin serta orang-orang bijak dari negeri tirai bambu selama ribuan tahun. Salah pembahasannya adalah mengenai kemewahan dan kesederhanaan.
Yoonje Cho menjelaskan bahwa: sangat mudah masuk ke kemewahan dari kesederhanaan, namun sangat sulit menjadi sederhana dari kemewahan.
Kemewahan memberikan kesenangan.Â
Kesenangan yang diberikan kemewahan tidak hanya bersifartpersisten tetapi juga sangat fatal. Analoginya ibarat obat antibiotic yang diberikan dalam dosis tertentu secara terus menerus, lama kelamaan akan terbiasa, kebal dan malah membutuhkan dosis yang lebih tinggi agar bisa dirasakan efeknya. Sangat sulit bahkan hampir tidak bisa diturunkan dosisnya.
Seperti itulan gambaran kesenangan yang diberikan oleh kemewahan. Bayangkan apa yang terjadi jika kesenangan yang diberikan oleh kemewahan itu didapatkan oleh seseorang anak semenjak diusia dini? Apalagi jika menyangkut kebutuan dasar yang sudahterbiasa mendapatkan dosis kesenangan yang tinggi. Terbiasa mendapatkan pelayan terbaik, barang-barang bermerk, makanan premium, dan kendaraan super nyaman. Â Rasanya, akan sangat sulit baginya jika harus menerima kenyataan jika kesenangan itu tidak lagi bisa dinikmati atau bahkan hanya sedikit harus diturnukan standarnya saja akan sangat keberatan. Bisa-bisa akan merasa bahwa seluruh dunia menghinanya dan merasa menjadi orang paling malang di dunia. Padahal selama ini banyak orang menjalani hidup yang jauh dibawah standarnya dan mereka baik-baik saja, menikmati hidup yang sederhana.
Setiap orang bisa melindungi dirinya sendiri dengan kesederhanaan agar tidak mudah kecewa dalam hidupnya. Sedangkan kemewahan rentan memberikan perasaan kecewa bahkan depresi  jika tidak dapat dipenuhi dosis kesenangan minimal dari apa yang biasa dirasakan.
Tidak ada yang salah dengan kehidupan yang sederhana. Meskipun, tidak ada orang yang membenci kehidupan yang berkecukupan bahkan berlimpah secara ekonomi tentu saja. Hal itu merupakan berkah yang harus disyukuri namun kita harus bijak menyikapi titipan langit agar tidak menjadi bumerang dikemudian hari.
Kita semua tau, saat ini merupakan zaman matrealisme yang menganggap selama ada uang, apapun bisa dilakukan. Uang adalah segala-galanya, hingga sangat sulit untuk menjaga diri. Banyak orang menghalalkan segala cara agar bisa memiliki banyak uang, serta tidak ragu melanggar hukum untuk dapat mewarisi kekayaan.
Tujuan kita hidup bukan untuk mengejar kekayaan sebanyak-banyaknya, namun agar bisa membantu banyak orang dengan berkah yang dititipakan melalui kita. Menurut pendapat pribadiku, dengan membantu orang lain yang kesulitan atau menolong orang miskin adalah cara untuk menurunkan dosis tinggi kesenangan dalam diri. Â
'Langit memberikan kekayaan kepada satu orang sekaligus kewajiban untuk menolong orang-orang dari kemiskinan. Tetapi mereka malah bergantung pada kekayaannya dan memandang rendah orang miskin. Orang-orang seperti ini akan menerima hukuman' (Yoonje Cho)
Diakhir pembahasannya Joonje Cho mengatakan bahwa jika seorang menusia tidak memiliki filosofi yang benar mengenai kekayaan, mereka tidak akan bisa menahan diri dan terjebak dalam hidup mewah dan mementingkan kesenangan diri sendiri hingga kematian mendatanginya.