“Awali branding Anda dengan tulisan.”
~ Edy Zaqeus
Suatu kali ada seorang trainer datang kepada saya untuk mendiskusikan strategi membangun personal branding dan debutnya di ranah publik Indonesia. Trainer ini lulusan luar negeri dan mengaku telah berkiprah selama bertahun-tahun di berbagai bidang bisnis. Jaringan atau fondasi internasionalnya sudah terbentuk, namun yang saat itu ingin dia bidik justru jaringan dan fondasi di Tanah Air. Alasannya sederhana, pasar di Indonesia dipandangnya masih “menyilaukan” mata, sangat prospektif, dan sangat sayang bila diabaikan.
Infrastruktur berupa tim kerja sudah dibentuk, termasuk event organizer. Sementara website berciri company profile sebagai sarana mass communication dan wadah jejaring juga sudah disiapkan. Rencana-rencana dan budgeting “penampakan” ke ranah publik juga sudah disusun dan dipersiapkan sedemikian rapinya, baik berupa sejumlah preview seminar, seminar inti, termasuk segala macam marketing tools yang dibutuhkan. Sepintas, semua persiapan tersebut bakal memudahkan si trainer ini untuk menggaet perhatian dalam belantara pelatihan dan permotivasian di Indonesia.
Tetapi, dari kacamata saya pribadi sebagai konsultan kepenulisan dan penerbitan, tampaknya ada satu alat personal branding yang tidak dia prioritaskan. Apa itu? Tak lain adalah branding melalui tulisan, dan lebih khusus lagi melalui buku (baik buku panduan, kajian profesi, atau memoar). Mudah saja bagi saya untuk menyatakan bahwa tulisan atau buku adalah alat personal branding yang luar biasa, terlebih bila dipersiapkan dengan baik dan profesional.
Mengapa saya katakan buku ini ampuh untuk mem-branding seseorang? Bahkan, mengapa bisa menjadi medium yang sungguh-sungguh mampu menjadikan ‘si bukan siapa-siapa’ menjadi ‘si seseorang’ yang diperhitungkan? Ya, jawabannya cukup sederhana, yaitu karena sudah banyak contoh membuktikan hal tersebut. Kita pasti tidak asing dengan nama-nama beken seperti Hermawan Kartajaya, Renald Khasali, Ary Ginanjar, Mario Teguh, Andrie Wongso, Andrias Harefa, Safir Senduk, dan masih banyak lagi.
Mereka ini contoh konkrit para penikmat fungsi dan manfaat buku sebagai alat personal branding. Dan saya bisa pastikan, saat ini buku menjadi pilihan terfavorit bagi para profesional untuk branding dan mengangkat reputasi dan kredibilitas profesi. Para motivator, trainer, coach, sales agent, broker, banker, termasuk para juru dakwah pun sudah memanfaatkan buku sebagai alat meraih popularitas.
Nah, apa untungnya memanfaatkan buku sebagai alat personal branding? Mengapa tidak memilih iklan atau advertorial di berbagai media massa? Mengapa tidak memakai jasa konsultan PR saja untuk itu? Saya ada beberapa alasan yang semoga bisa menjadikan preferensi awal untuk melihat potensi buku sebagai pilihan strategi branding Anda. Berikut di antaranya:
Pertama, buku memiliki citra (atau dipersepsi) sebagai “barang intelektual”. Artinya, seorang penulis buku hampir pasti dipersepsi oleh publik sebagai orang yang pandai dan ahli (expert) di bidang yang dia tulis. Sebagai barang intelektual, buku maupun penulisnya akan menuai gengsi tersendiri sebagai bagian dari komunitas terpelajar.
Nah, di belahan dunia dan sistem sosial mana pun, komunitas terpelajar begitu dihormati sehingga kadang seperti mendapatkan priveledge sosial tertentu. Sebut misalnya, kalangan pers pasti lebih menyukai narasumber yang sudah memiliki track record tertentu, yang mana informasi itu bisa mereka rujuk dari buku yang ditulis.
Kedua, persepsi sebagai ahli ini memunculkan efek berupa pengakuan awal atas kredibilitas si penulis. Kredibilitas seseorang menentukan tingkat pengaruh maupun kepercayaan publik terhadapnya. Tokoh atau figur yang memiliki kredibilitas di ranah publik seperti memiliki ‘kartu pas’ untuk masuk ke berbagai lingkungan, sasaran, atau target pengaruh. Mau bukti, simak saja menjelang pemilihan jabatan-jabatan publik, biasanya akan muncul buku-buku profil dari para kandidat.
Nah, buku memang cenderung menghasilkan persepsi automatis. Maka, panjang-pendek usia atau kuat-lemah pengaruh pun tergantung pada isi buku itu sendiri.
Ketiga, buku itu sejatinya bersifat egaliter dan demokratis. Lho, apa maksudnya? Nah, beda dengan persepsi awam selama ini yang memandang buku sebagai perwujudan olah intelektual yang eksklusif. Dalam beberapa kasus bisa jadi demikian, tetapi sesungguhnya buku merupakan salah satu instrumen mobilitas pengaruh yang paling egaliter dan demokratis. Artinya, siapa pun Anda dan dari latar belakang apa pun, tidak ada hambatan struktural untuk mewujudkan sebuah buku, termasuk menggunakannya sebagai bagian dari strategi-strategi branding Anda.
Jadi jangan heran, mulai dari yang SD saja tidak tamat, sopir taksi, pembantu rumah tangga, tukang sol sepatu, pemulung, mantan narapidana, sampai para konglomerat maupun pakar bergelar profesor doktor berhak menuliskan pikiran-pikirannya menjadi sebuah buku. Buku adalah instrumen pengaruh yang inklusif sifatnya. Setiap orang yang berhasil menerbitkan buku akan memiliki kesempatan yang sama untuk masuk dalam public discourse, dan ada efek pengaruh di situ.
Keempat, buku adalah instrumen branding yang relatif mudah untuk dikreasikan. Saya katakan begitu karena ada berbagai macam teknik praktis yang bisa digunakan untuk menyusun atau menulis buku. Ada teknik kompilasi tulisan, ada teknik menulis cepat, ada teknik interview, ada juga teknik co-writing dan ghost writing. Berdasarkan pengalaman saya, hampir semua tema maupun problem kepenulisan tetap bisa dicarikan solusinya.
Nah, dari segi waktu misalnya, penulisan buku pun bisa disesuaikan dengan rencana atau target-target tertentu. Percaya atau tidak, ada buku yang bisa ditulis dalam waktu 2,5 jam! Saya pernah mengkreasikan buku jenis ini (Mengukir Kata Menata Kalimat; Gradien, 2007) bersama Andrias Harefa, seorang trainer dan penulis buku-buku bestseller.
Kelima, dari segi efisiensi biaya, tak jarang (atau malah lebih sering) proses penggarapan buku menjadi lebih kompetitif dibanding iklan-iklan di televisi maupun media cetak. Beberapa tokoh atau perusahaan rela menghabiskan ratusan juta rupiah untuk sekali pasang iklan di media massa cetak. Padahal, dengan budget yang sama mereka bisa menghasilkan buku-buku dengan kualitas yang sangat baik serta memiliki efek pengaruh yang relatif lebih lama.
Baik, saya sudah sampaikan beberapa alasan dasar mengapa Anda perlu melirik buku sebagai pilihan membangun personal branding Anda. Barangkali ada di antara pembaca tulisan ini yang mulai terusik perhatiannya dan ingin tahu bagaimana mempraktikkannya. Saya ada saran sederhana yang saya yakin bisa mulai dijalankan oleh siapa saja, khususnya kaum profesional. Apa itu? Mulai saja menulis. Ya, mulailah menulis apa saja, khususnya bidang yang memang menjadi keahlian atau kompetensi Anda.[ez]
* Edy Zaqeus adalah penulis buku-buku bestseller, editor profesional, writer coach, trainer, dan konsultan kepenulisan dan penerbitan. Dua karya terakhirnya (dari delapan buku yang ditulisnya) yang laris di pasaran adalah Resep Cespleng Menulis Buku Bestseller (Fivestar, 2008) dan Bob Sadino: Mereka Bilang Saya Gila (Kintamani, 2009). Edy juga menjadi pendiri sekaligus editor website motivasi AndaLuarBiasa.com dan BukuKenangan.com. Ia dapat dihubungi di nomor: 08159912074/021-59400515 atau pos-el: edzaqeus[at]gmail[dot]com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H