Saya termasuk salah satu pengagum pikiran-pikiran cemerlang dan visi-visi Jusuf Kalla, walau saya tidak sedang mempertimbangkan dia dan pasangannya sebagai pilihan saya dalam pilpres 8 Juli nanti. Namun, sebagai pengagum politisi visioner dan cerdas ini, saya sungguh sedih membayangkan kejatuhan karier politiknya pascapilpres nanti. Sudah sejak awal saya menganggap pencapresan JK sungguh-sungguh merupakan skenario menenggelamkan karier politiknya (baca: ).
Semula, saya pun merasa JK menyadari skenario tersebut. Tetapi belakangan, saya lihat JK justru "menenggelamkan" diri bersama skenario tadi, karena sudah kepalang basah dengan langkah-langkah politiknya yang serba terpaksa dan akhirnya malah jadi blunder ().
Dalam analisis-analisis sebelumnya, saya sudah memperkirakan bahwa tokoh-tokoh Golkar yang tidak setuju dengan langkah JK memisahkan diri dari Partai Demokrat akan menyerang balik ketika JK gagal memenangi pilpres. Skenario pelengseran JK dari Ketua Umum Partai Golkar pun tampaknya sudah dirancang dengan rapi. Kelompok penentang JK ini sudah tahu persis bahwa kalkulasi politik tidak bisa dijauhkan dari hasil-hasil survei sejumlah lembaga survei terpercaya (sekalipun tidak diakui secara terbuka).
Setidaknya dari 11 survei terbaru (Mei-Juni 2009), 5 lembaga memenangkan SBY-Boediono secara mutlak (di atas 60%), 3 lembaga memenangkan pasangan ini dengan perolehan di atas 50%, 2 lembaga menempatkan SBY unggul tipis hanya di atas 30%, dan hanya 1 lembaga survei yang nekat memenangkan Mega-Prabowo dengan suara 44% (). Dan, Litbang Kompas menjadi lembaga berikutnya yang mengukuhkan dominasi tren elektabilitas SBY-Boediono di atas 60%.
Dengan data tersebut, kini sulit sekali mengukur optimisme bulat dari tim sukses JK-Wiranto. Mereka tetap akan dengan penuh harga diri membela dan berusaha memenangkan JK. Tetapi hasil-hasil survei yang tidak pernah "ramah" (kecuali survei LRI yang mendukung JK) akan selalu menjadi teror mental bagi mereka. Dan, hal yang paling mengkhawatirkan sekaligus menyedihkan adalah--ini masih dugaan semata--JK akan semakin "ditinggal" secara diam-diam oleh orang-orang yang semula tampak mendukungnya. Ini fenomena jamak dalam politik manakala kekuatan patron melemah dan pada saat yang sama lawan si patron menunjukkan tren penguatan, dominasi, sekaligus membuka afiliasi.
Dalam perkiraan saya, nantinya JK tidak hanya akan ditinggalkan oleh para sekutu awalnya. Tetapi dalam Munaslub atau sejenisnya pascapilpres nanti, akan muncul usaha sekeras-kerasnya untuk mendongkel posisinya dari posisi Ketua Umum Golkar. Ini sudah menjadi semacam keniscayaan yang mengkhawatirkan.
Bukan itu saja. Dalam sisa masa pemerintahan SBY-JK hingga Oktober nanti, maka JK akan menjadi sosok yang diasingkan dan diisolasi secara politik dalam kabinet nantinya. Saat ini atau sebelumnya, mungkin JK bisa menikmati keleluasaan pengambilan keputusan. Tetapi pascapilpres, "kekuasaan" JK, termasuk menteri-menteri yang mendukung dia, tampaknya bakal dipangkas habis oleh SBY. Barangkali JK akan tetap berusaha sebisa mungkin menikmati masa-masa terakhir kedudukannya sebagai wakil presiden. Akan tetapi, ia akan benar-benar tinggal dalam "rumah panas" yang pengab dan selalu mengeluarkan aroma tidak sedap. Pahit memang nasib kompetitor sang incumbent nantinya.
Walau begitu kerasnya realitas politik yang akan dihadapi JK nantinya, saya berharap mudah-mudahan capres yang satu ini mampu kembali dalam top performance-nya dalam mengambil langkah-langkah (politik) berikutnya. Ia harus tetap tampil elegan dan bersemangat sekalipun menjadi "pesakitan" di antara koleganya sendiri. JK harus merumuskan kembali peran-peran baru yang bisa dia masuki ke depan nanti, dan itu tidak harus selalu dalam ranah perpolitikan. Optimisme dan keberaniannya, dan juga kecepatannya dalam bertindak masih bisa menemukan wadah yang tepat, yaitu dunia wiraswasta. Tetap semangat Pak JK...[edyzaqeus]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H