Mohon tunggu...
Edy Santoso
Edy Santoso Mohon Tunggu... -

jujur sejak di hati adil sejak di pikiran

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Tiga Nasehat Ayah

24 April 2010   03:48 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:37 712
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

"Hidup bukan hanya tentang apa yang kita makan, atau tentang apa yang kita pakai, atau apa yang kita miliki. Hidup adalah bersyukur atas makanan yang sudah diberikan Tuhan kepada kita. Hidup adalah melepaskan apa yang kita pakai dan melekatkannya pada tubuh orang lain. Hidup adalah merelakan apa yang kita miliki untuk siapapun yang memintanya."

Begitulah yang dikatakan seorang bapak kepada anak laki-lakinya saat mereka akan bersiap tidur beralas kardus di dalam gerbong kereta tua yang sudah tak terpakai lagi. Si anak yang masih membereskan kotak semir sepatunya hanya memandang bapaknya dengan kosong. Setiap malam dia selalu mendengar kata-kata bapaknya namun dia tetap saja tak paham. Si bapak lalu mengelus kepala anaknya dan merebahkan tubuhnya. Dia melipat kedua tangan dan meletakkannya di atas perut. Posisi tidurnya yang santai menandakan dia berada dalam ketenangan yang dalam. Laki-laki tua itu merasa damai selepas mengucapkan kata-kata itu, seakan mantra baginya untuk melindungi anaknya. Tak lama kemudian bapak itu terlelap.

Sebaliknya bocah itu masih terjaga, mencoba mereka-reka nasehat bapaknya yang tak terjangkau pemahamannya dan berakhir menjadi peta buta di kepala. Mungkin ini hanya masalah umur. Sepuluh tahun dia menghirup napas di dunia ini namun tak cukup mampu membuatnya mengerti meski jalanan menempanya menjadi anak yang tangguh dan lebih dewasa dari anak-anak berkehidupan normal lainnya. Dia sungguh hafal nasehat bapaknya bahkan dia hafal betul pada urutan kata keberapa bapak mengambil napas untuk bersiap meluncurkan kata-kata yang lain.

Bocah itu mengerutkan kening dan mulai menelusuri dari awal nasehat bapaknya.

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA MAKAN.

Mungkin bapak mengatakan itu supaya aku tak lagi memandang lama-lama gedung kaca mirip aquarium besar berisi orang-orang yang asyik melahap paha ayam atau roti bertumpuk yang saat digigit akan meledakkan saus merah bercampur kuning kental lalu meleleh di sisi tumpukan roti. Jika memang itu artinya aku bisa melakukannya.

Dia lalu memandang remasan kertas nasi yang tidak menyisakan secuil nasipun. Itu adalah kertas nasi bekas makan malam mereka: nasi basi tanpa lauk. Anak itu mengelus perut. Kenyang. Dia yakin orang-orang itu juga merasakan rasa ini. Sama saja.

Dia mengeluarkan kaos coklat bergambar kartun Devil Tasmania dari kotak semir. Kaos itu adalah kaos kesayangan dari dua kaos yang dia punya dan yang satunya melekat di tubuh.

HIDUP BUKAN HANYA TENTANG APA YANG KITA PAKAI.

Tiba-tiba wajahnya muram. Bukan hanya dia yang menyukai kaos itu, sahabatnya juga. Sebenarnya dia berniat memberikan kaos itu di hari ulang tahun sahabatnya. Namun sayang, sahabatnya hilang sebelum dia sempat menghadiahkan kaos itu. Orang-orang bilang Bayangan Iblis telah merenggutnya sama seperti anak-anak jalanan lain yang hilang tanpa jejak. Banyak yang tidak diketemukan. Kalaupun ketemu tubuh mereka tak utuh lagi. Sama seperti nasib sahabatnya. Pagi ini kepala sahabatnya ditemukan di antara tumpukan sampah kota. Bulir-bulir airmata membasahi pipi bocah itu namun buru-buru dihapusnya. Dia sadar kaos itu tak mungkin berguna untuk sepotong kepala.

Lalu bagaimana dengan yang terakhir?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun