[caption id="attachment_235926" align="alignleft" width="269" caption="pelantikan pejabata eselonIV.JPG"][/caption] Rekan Kompasianer silahkan baca berita di eramuslim.com ini : Menteri Dalam Negeri, Gamawan Fauzi menyatakan bahwa untuk ikut pemilu langsung kepala daerah atau Pemilu Kada, seorang calon minimal harus menyiapkan uang sebesar 20 milyar rupiah. Padahal, gaji bupati hanya sekitar 8 jutaan per bulan. Itu pun sudah termasuk tunjangan. "Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp 20 miliar," terang Gamawan seusai mendampingi Wakil Presiden Boediono membuka rapat pimpinan nasional (rapimnas) Gapensi di Istana Wapres, Jakarta, Senin (Kompas, 5/7/2010). Budaya korup dan kapitalistik dalam pemilihan kepala daerah atau pilkada di Indonesia ternyata kian menggila. Bayangkan, seorang calon kepala daerah minimal harus menyiapkan dana sebesar 20 milyar untuk mengikuti pilkada. Untuk daerah basah, menurut Mendagri, bisa mencapai 100 sampai 150 milyar. "Akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa antara Rp 100 miliar dan Rp 150 miliar,” ujar mantan Gubernur Sumatera Barat ini. Jumlah fantastis itu sebenarnya tergolong biaya normal. Artinya, biaya akan membengkak kalau para calon mengalami sengketa soal hasil Pemilu Kada. Karena untuk mengurus ke ranah hukum, biayanya tidak murah. [caption id="attachment_235934" align="alignleft" width="232" caption="anti-korupsi.jpg"][/caption] Lalu, darimana para kepala daerah nantinya bisa balik modal? Karena untuk bisa dapat 20 milyar, seorang bupati dengan gaji sekitar 8 jutaan per bulan, harus menjabat bupati tidak kurang dari 200 tahun. Itu pun kalau gaji yang didapat sama sekali tidak dibelanjakan. Suatu hal yang sangat mustahil. Hitung-hitungan semakin tidak masuk akal kalau jumlah dana mencapai 150 milyar. Karena butuh waktu sekitar 750 tahun untuk bisa mengembalikan modal pemilu kada sebesar itu. Bagaimana tanggapan rekan kompasiner setelah membaca berita diatas ? Paling tidak ada beberapa hal yang menggelitik bagi saya : 1.Negeri ini mau dibawa kemana oleh para orang-orang yang haus kekuasaan dan tamak harta ini ? 2.Siapa yang menangguk untung dari fenomena ini ? 3.Kita sedang memilih pemimpin yang kaya dan tajir bukan yang terbaik dan berkualitas,setuju ? Wallahu alam bishowab...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H