“Tiap-tiap umat mempunyai batas waktu; maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS. Al-A’raf [7]:34)
Keselarasan antara ajaran Islam, syariatnya dan zaman dimana syariat tersebut hadir, menurut hemat saya adalah hal yang amat penting untuk kita pahami dengan baik. Karena melalui pemahaman yang baik akan hal ini kita akan dapat mengerti kenapa ajaran Islam yang sama dan serupa itu harus hadir dalam bentuk dan rupa syariat yang berbeda-beda di setiap zamannya. Sebagaimana telah kita ketahui dengan baik bahwa sebenarnya ajaran yang dibawa oleh para nabi dari zaman ke zaman itu adalah ajaran yang sama dan serupa. Akan tetapi, sebagaimana juga telah kita ketahui bersama bahwa di tiap-tiap zamannya itu, para nabi hadir membawa syariat yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Tentu ini adalah sebuah perkara yang amat penting yang mesti kita teliti dengan cermat dan pahami dengan kejernihan hati.
Ajaran Islam itu sendiri sesungguhnya merupakan ajaran yang bersumber pada sunnatullah. Kepada ketetapan Allah yang telah ditetapkan-Nya sejak awal penciptaan. Sunnatullah adalah fitrah penciptaan semesta alam ini. Ia adalah hukum alam. Hukum kehidupan. Hukum keseimbangan yang menjadi pemasti terpelihara dan terjaganya alam semesta dalam keseimbangannya. Ia adalah hukum yang tidak bisa ditolak dan dilawan. Menolaknya sama saja dengan menghancurkan diri sendiri. Manusia harus mematuhinya dan mau tidak mau harus berjalan selaras dengannya jika menginginkan keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan dalam kehidupannya. Dan ketetapan Allah atas penciptaan-Nya ini meliputi keseluruhan aspek yang ada dalam perikehidupan kita. Inilah kenapa kita menyebut Allah sebagai Tuhan semesta alam dan menyebut Allah berkuasa atas segala sesuatu. Karena sebab itulah menjadi tidak ada satu ruangpun dalam kehidupan ini yang tidak berlaku hukum atau ketetapan Allah padanya.
Ajaran Islam merupakan interpretasi dari sunnatullah tersebut. Ia merupakan hikmah dan nilai-nilai universal yang menjadi jiwa atau ruh atas kehidupan ini. Agama Islam itu sendiri sesungguhnya lahir dalam keinsafan bahwa manusia tidak bisa memilih jalannya sendiri. Manusia harus berjalan selaras dengan ketatapan yang sudah Allah tetapkan atas kehidupan ini. Karena hanya di dalam keselarasan itulah manusia akan memperoleh keselamatan, kedamaian dan kesejahteraan. Sebaliknya, jika manusia membangkang dari apa-apa yang telah menjadi ketetapan Allah itu, manusia mau tidak mau harus menanggung kerugian dan kerusakan yang pasti akan timbul karenanya.
“Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.” (QS. Ar Ruum [30]:30)
Ajaran Islam sesungguhnya adalah sesuatu yang bersifat kekal dan tidak berubah. Karena ia merupakan fitrah Allah atas penciptaan ini. Sehingga dengan itu, walau mungkin banyak manusia tidak mengetahui hal ini, menjadi pastilah bagi kita bahwa sesungguhnya agama yang dibawa oleh para nabi-nabi itu adalah agama yang sama dan serupa. Karena setiap agama yang dibawa oleh para nabi itu mengakar kepada fitrah Allah yang sama itu dan yang tidak pernah berubah itu.
Lalu, jika demikian adanya, lantaran sebab apakah syariat yang dibawa oleh para nabi itu berbeda-beda bentuk dan rupanya di tiap-tiap zamannya itu? Satu yang dapat kita pastikan mengenai ini adalah karena tiap-tiap zaman di mana para nabi itu hadir tentulah mempunyai karakteristik dan budaya yang berbeda-beda. Karakteristik umat di tiap-tiap zaman berbeda-beda dan kebutuhan serta tuntutan di masing-masing zaman tersebut pun berbeda-beda pula adanya. Dan karena keberadaan syariat itu haruslah dapat menjawab tuntutan zaman, maka syariat yang dibangun pun haruslah kompetibel dengan zamannya.
Hal penting yang harus kita pahami di sini adalah bahwa agama Islam itu haruslah ia menjadi seperangkat peraturan dan tata cara berkehidupan yang dapat membawa umat di tiap-tiap zaman menjadi selamat, damai dan sejahtera. Itulah karakteristik dari Islam tersebut. Itu yang disebut Al-Islam itu. Agama Islam adalah sistem berkehidupan yang menyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan. Jika tidak demikian tidaklah ia diridai Allah sebagai Al-Islam. Islam bukanlah sebuah label, bukan pula hanya sebuah merek. Islam adalah agama yang hidup.
Agama yang harus menjadi jiwa dan menjadi rahmat bagi kehidupan umat manusia dan semesta alam. Agar menjadi nyata meluluinya kasih sayang dan keadilan Tuhan. Melalui Islam menjelmalah sifat-sifat Allah dalam kehidupan umat manusia dan menjadi sesuatu yang dapat dirasakan. Melalui Islam, Allah menjadi Tuhan yang nyata bagi manusia. Melalui Islam, Allah menjadi Tuhan penguasa dan pengatur yang nyata.
Dan bukti yang paling nyata dari pengakuan umat manusia bahwa Allah adalah Tuhan yang Maha Pengasih, Maha Pemberi, Maha Adil, Maha Bijaksana dan segala ke-Maha-Benaran-Nya itu adalah dengan mewujudkan sebuah sistem berkehidupan yang benar dan adil. Sistem berkehidupan yang benar-benar menjelmakan sifat-sifat Allah dalam realita. Ketika kita mendapati suatu masyarakat yang hidup dalam kemiskinan dan kelaparan tanpa ada yang mengulurkan tangan atasnya, ketika kita mendapati kejahatan dan kecurangan terjadi tanpa teradili, ketika kita mendapati kezaliman berdiri sebagai pihak yang dimenangkan, ketika itu, dimanakah Tuhan? Bukankah seolah Tuhan tidak ada. Seolah Tuhan hanyalah sosok dongeng dan khayalan. Tidak! Menurut hemat saya tidaklah demikian semestinya. Tuhan harus menjadi sosok yang hadir dalam kehidupan umat manusia. Sifat-sifat Tuhan harus menjelma menjadi sebuah sistem yang dapat menjamin keadilan dan kesejahteraan bagi setiap orang.
Dengan memahami hal demikian itu, menjadi yakinlah kita mengatakan bahwa agama nabi Adam as. pun adalah Al-Islam. Menjadi tidak bingunglah kita sekalipun mendapati pertentangan yang demikian besar antara syariat agama Adam as. dengan syariat yang kita kenal hari ini. Kita tidak akan mengatakan bahwa Adam as. telah keliru ketika menghalalkan pernikahan sedarah dalam syariat hidupnya, dan kita tidak dapat pula mengatakan bahwa Adam as. telah salah dengan syariat berkurban yang dijalankannya dengan cara membakar habis kurban persembahannya itu. Kita tahu dengan pasti bahwa itulah Al-Islam di zaman Adam as. Itulah bagian dari sistem berkehidupan yang menyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan mereka di zaman itu. Syariat mereka adalah implementasi Islam yang terbaik untuk zaman mereka, dan syariat kita haruslah juga merupakan implementasi terbaik untuk zaman kita. Maka hendaklah kita tidak berbantah-bantahan dalam perkara ini.