Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Islam Telah Ada Sejak Manusia Pertama Ada

26 November 2016   17:44 Diperbarui: 26 November 2016   18:06 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kami berfirman: "Turunlah kamu semuanya dari surga itu! Kemudian jika datang petunjuk-Ku kepadamu, maka barang siapa yang mengikuti petunjuk-Ku, niscaya tidak ada kekhawatiran atas mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati"(QS. Al-Baqarah [2]:38)

Jika Adam as. adalah manusia yang beragama, tentu Islamlah agamanya. Jika Allah membimbingnya untuk beragama tentu agama Islamlah itu. Kita tentu sepakat bahwa manusia adalah ciptaan Tuhan. Dan setiap ciptaan tentulah diciptakan dengan sebuah maksud. Ada tujuan dan fungsi dari diciptakannya segala sesuatu. Tidak ada satu-pun ciptaan yang diciptakan tanpa maksud dan tujuan tertentu. Maksud diciptakannya sesuatu itulah yang disebut dengan fitrah penciptaan.

Memenuhi dan hidup menurut maksud penciptaan itulah yang disebut dengan mangabdi kepada Sang Pencipta. Dengan cara itulah setiap ciptaan mencapai kemuliaan dan kesejatiannya. Coba perhatikan sekitar anda. Lihatlah semua benda yang ada di sekeliling anda. Kursi yang ada duduki, buku yang sedang anda baca ini, televisi, meja, pulpen, handphone, gelas dan segala yang lainnya itu, adakah satu pun yang tidak memiliki maksud keberadaannya? Tentu saja tidak!

Dengan yakin kita katakan bahwa semua mempunyai maksud penciptaanya. Coba anda bayangkan jika anda membeli sepeda motor dengan harga belasan juta rupiah itu dan kemudian sepeda motor itu hanya anda gunakan untuk menjemur kasur, karpet dan pakaian anda, dimanakah letak kemuliaannya? Bukankah kemuliaan segala sesuatu adalah ketika ia hidup menurut maksud penciptaannya? Coba anda bayangkan juga jika anda membeli sebuah guci keramik besar yang anda beli dengan harga jutaan rupiah dan kemudian guci itu ada gunakan sebagai tempat sampah. Tidakkah itu sesuatu yang merendahkan dan menghinakan?

Sebelum kita masuk kepada bahasan tentang Islam di zaman Adam as., penting bagi kita untuk memahami bahwa manusia sebagai ciptaan, yang tentu berarti telah secara otomatis mempunyai maksud dari pada penciptaannya itu, tentu tidaklah boleh bagi kita hidup dengan suka-suka. Tidak bisa dan tidak boleh kita hidup semau dan sekehendak nafsu kita saja. Karena sebagai ciptaan tentu telah tetap baginya sebuah jalan keselamatan tertentu. Tidak semua cara dan jalan hidup dapat membawa kita kepada keselamatan.

Bayangkan jika ikan harus hidup di darat. Selamatkah ia? Bayangkan jika singa si raja hutan yang perkasa itu harus hidup di laut. Akan selamatkan ia? Bayangkan jika anda menggunakan mobil anda untuk menyemberangi lautan. Tentu saja mobil anda tidak akan selamat. Demikian juga dengan anda yang sudah salah menggunakan mobil tersebut. Jadi penting untuk kita tegaskan sekali lagi bahwa manusia tidak bisa dan tidak boleh hidup suka-suka. Manusia harus hidup sesuai dan selaras dengan fitrah penciptaannya. Dan hukum yang demikian itu tentu saja telah berlaku kepada manusia sejak manusia pertama ada.

Adam as. tidak boleh menjalani hidupnya sekehendak nafsunya. Ia harus hidup menurut cara-cara yang diridhoi Allah. Ia harus hidup selaras dengan maksud atau fitrah penciptaannya. Dan adanya keharusan yang demikian itu tentu saja bukan untuk kepentingan Allah. Keharusan yang demikian itu sungguh benar-benar untuk kepentingan manusia itu sendiri. Untuk keselamatan, keamanan dan kesejahteraan hidup manusia sendiri. Adam as. harus hidup menurut cara-cara yang memastikan dirinya selamat, damai dan sejahtera. Dan cara hidup yang menyelamatkan itu, yang mendamaikan itu dan yang mensejahterakan itulah Islam. Itulah cara hidup yang dirihoi Allah. Karena itulah Islam adalah satu-satunya agama; satu-satu jalan hidup yang diridhoi Allah.

Dari Al-Qur’an yang karim kita tahu bahwa Adam as. adalah salah satu manusia, salah satu nabi yang hidupnya di dunia ini diridhoi oleh Allah SWT. Yang dengan itu kita dapat pastikan bahwa Adam as. telah hidup menurut cara-cara yang sesuai dengan kehendak Allah. Menurut cara-cara yang selaras dengan fitrah penciptaannya. Menurut cara-cara yang menyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan. Menurut cara yang islami. Akan tetapi jika kita menengok ke zaman Adam as. itu, kita akan menemukan setidaknya ada dua syariat hidup yang penting, yang jika kita mengukur dengan syariat hidup yang kita imani hari ini, kita akan mengatakan bahwa itu sebuah kesalahan dan kekeliruan.

Di zaman Adam as., sebagaimana kita tahu bahwa pernikahan sedarah seperti kakak dan adik adalah benar dan halal. Yang mana tentu saja jika kita mengukur menurut syariat yang kita punya hari ini, itu adalah sebuah kekeliruan besar. Namun tentu saja kita tidak bisa mengukur dan menilainya dengan cara yang demikian. Karena kepentingan Islam sesunguhnya adalah untuk meyelamatkan, mendamaikan dan mensejahterakan. Hanya itulah cara yang tersedia di masa Adam as. itu untuk memperoleh hidup yang selamat, damai dan sejatera.

Ada alasan mendasar tentunya dari dibenarkan dan dihalalkannya pernikahan sedarah di zaman Adam as. itu. Kita dapat bayangkan jika di masa Adam as. itu pernikahan sedarah ini menjadi sesuatu yang terlarang. Dapatlah kita pastikan bahwa peradaban manusia akan berhenti hanya sampai di situ saja. Tidak akan pernah ada generasi umat manusia setelah itu seperti yang kita lihat sekarang. Jadi, dapatlah kita simpulkan bahwa pernikahan sedarah di zaman Adam as. itu adalah sebuah keharusan yang diridhoi Allah. Dan bahkan jika Adam as. tidak menjalankan syariat yang demikian itu, maka dia telah keluar dari cara Islam.

Syariat besar lainnya yang pastilah akan kita pandang sebagai sebuah kesalahan dan kekeliruan jika kita ukur dengan syariat yang kita punya di zaman ini adalah syariat berkurban. Seperti yang kita tahu, di zaman Adam as. berkurban dilakukan dengan cara membakar kurban persembahan, baik itu hewan ternak atau hasil pertanian, sampai ia habis terbakar menjadi abu. Jika hal ini kita ukur menurut paham dan syariat yang kita punya hari ini, kita akan menyebutnya sebagai sebuah tidakan mubazir dan bahkan cenderung kita anggap sebagai tindakan yang bodoh. Tapi tahukah kita bahwa itulah cara terbaik berkurban yang harus dilakukannya di zaman itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun