Mohon tunggu...
Edy Suryadi
Edy Suryadi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Ketua Umum Rumah Kebangsaan Pancasila

Inner Life is The Real Life

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Misi Nabi Muhamad yang Paling Utama

1 Desember 2016   01:50 Diperbarui: 1 Desember 2016   01:59 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ada satu yang lucu yang saya temui di beberapa forum diskusi lintas agama. Dimana sering kali saya temui beberapa dari kita yang beragama Islam memposting tentang ramalan kedatangan Nabi Muhammad saw. yang terdapat di berbagai kitab suci umat agama lain. Ada ramalan itu di kitabnya orang Hindu, di kitabnya orang Buddha, di kitabnya orang Yahudi dan juga di kitabnya orang Nasrani. Kita sebagai muslim memanglah tentu berbangga hati dengan fakta-fakta yang akurat tersebut. Namun hal yang lucunya adalah banyak dari kita yang lalai untuk memikirkan, bagaimana bisa ramalan tersebut ada di dalam kitab suci agama-agama di luar Islam itu? Kita abai untuk memikirkan dan bertanya siapakah yang menginspirasi tertulisnya ayat-ayat yang berisi ramalan kedatangan Nabi Muhammad saw. itu di dalam berbagai kitab suci di luar Islam itu? Bukankah jika kita mempercayai ayat-ayat dalam berbagai kitab suci yang menerangkan akan datanganya Nabi Muhammad saw. itu, haruslah kita tahu bahwa pastilah Allah yang telah menuliskannya di situ. Dan jika Allah yang telah menuliskannya di situ bukankah itu berarti ada kebenaran juga yang terkandung dalam kitab-kitab tersebut. Kenapakah kita tidak mempertimbangkan bahwa ada kebenaran, meski mungkin tidak keseluruhannya, tapi tetaplah ada kebenaran yang terkandung di dalam kitab-kitab tersebut. Maka Maha Benarlah Allah atas firman-Nya yang menerangkan: Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.(QS. Al-Baqarah [2]:147).

Keanehan yang luar biasa bagi kita ketika melihat adanya orang yang merasa bahwa kebenaran hanya mereka yang punya. Seolah kebenaran itu hanya dibuat khusus untuk mereka saja dan tidak untuk orang lain. Mereka lupa bahwa di dalam setiap jiwa manusia telah Allah tiupkan kebenaran padanya. Mereka lupa bahwa di setiap ciptaan; di seisi langit dan bumi ini bertebaran ayat-ayat-Nya. Mereka lupa bahwa kemanapun seorang anak manusia menghadap di situlah wajah Allah berada.

Sungguh merasa diri paling benar adalah sebuah penyakit parah. Sebuah penyakit yang akan membuat manusia selalu saja terjebak dalam perselisihan dan permusuhan. Sebuah penyakit yang akan membuat kita semakin jauh dan jauh dari terwujudnya persatuan dan persaudaraan umat manusia. Nampaknya kita benar-benar lupa bahwa kita diciptakan dalam fitrah yang sama. Nampaknya kita juga telah lupa bahwa seluruh umat manusia bermula dari nenek moyang yang sama. Dari Adam dan Hawa. Entah harus sampai berapa lama kita terjebak dan terus terjebak dalam budaya saling bangga membanggakan golongan. Entah harus sampai kapan kita terpenjara dalam perilaku saling mengkafirkan. Entah harus berapa banyak waktu lagi yang kita habiskan dalam kealpaan bahwa manusia adalah umat yang satu.

“Dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudaramu dalam kemanusiaan.”(Imam Ali bin Abi Tholib)

Agama kita boleh saja berbeda, sebutan kita untuk Sang Pencipta boleh saja tidak sama, cara kita memuja dan mengagungkan Tuhan boleh saja berlainan cara, dan tradisi dan budaya kita pun tidaklah harus seragam. Semua itu adalah kodrat yang tidak bisa kita tolak. Telah menjadi suratan takdir dari Sang Pencipta bahwa kita pastilah akan beragam sukunya, beragam ras bangsanya, beragam tradisi dan budayanya, dan beragam pula agama. Sampai kiamat pun kita akan tetap beragam dan tidak akan pernah itu berubah. Tapi haruskah sampai kiamat pula kita terus berselisih paham, terus bergolong-golongan, terus kafir mengkafirkan dan terus memaksakan yang lain agar seiman dan seagama dengan kita? Bukan telah Allah tegaskan bahwa tidak boleh ada paksaan dalam beragama? Maka biarlah dan ikhlaslah bahwa kita berbeda-beda adanya dan selamanya akan tetap berbeda-beda adanya. Kita harus dengan lapang dada menerima itu sebagai realita. Sebab seberapa banyaknya pun hal yang berbeda di antara kita manusia, hal itu tidak akan pernah dapat menghapus fakta bahwa kita akan selalu mempunyai satu yang sama dan serupa. Kemanusiaan kita. Nilai-nilai kemanusiaan di dalam diri kita itu sama adanya dan akan tetap sama adanya selamanya. Ia tidaklah akan pernah bisa dihapuskan. Dan di atas nama kemanusiaan itulah kita dapat berdiri merajut persatuan dan persaudaraan umat manusia.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun