Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui dengan kembali bertaubat kepada-Nya dan bertakwalah kepada-Nya serta dirikanlah shalat dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka.(QS. Ar Ruum [30]:31-32)
Sungguh perkara persatuan ini adalah sebuah perkara yang amat penting. Dan sungguh sebenarnya hidup berpecah belah itu adalah sebuah dosa besar dan kemusyrikan. Dengan hidup bergolong-golongan dan saling membanggakan golongannya itu adalah sama saja kita mengatakan Tuhan itu tidak Esa. Seolah-olah tiap-tiap golongan itu memiliki kebenarannya sendiri yang berbeda dengan golongan yang lain. Seolah-olah tiap-tiap golongan itu memiliki Tuhannya sendiri yang berbeda dengan Tuhan golongan yang lain. Jika kita berkata bahwa Allah itu Esa, bagaimana bisa kita memecah-mecah kebenaran itu. Bagaimana bisa kita saling mengklaim bahwa kita adalah golongan yang paling benar dari pada golongan-golongan yang lain? Bukankah Tuhan itu satu adanya? Bukankah mestinya kebenaran pun tidaklah mendua? Tentang hal ini sangatlah tidak boleh kita abai dengannya. Ini adalah perkara yang amat serius. Inilah bagian paling penting dalam penegakan agama itu. Agama bukan alat untuk saling membangga-banggakan diri. Agama adalah jalan bagi umat manusia untuk mencapai hidup yang selamat, damai dan sejahtera.
Ada sebuah hadist nabi yang sangat penting untuk kita perhatikan dan pahami dengan seksama. Hadist ini mungkin tidaklah asing bagi kita semua. Hanya saja menurut hemat saya, pesan yang disampaikan melalui hadist ini belumlah mendapat perhatian yang serius dari kita umat Islam. Dari kita para pengikut Rasulullah Muhammad saw.
عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .
“Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “AL-JAMA’AH.”(HR. Abu Dawud)
Sengaja saya sertakan juga bahasa Arabnya di sini agar mereka yang memahami bahasa Arab dapat meneliti pesan penting dalam hadist ini secara lebih mendalam. Hadist ini tentulah sebuah pesan yang amat serius untuk menjadi perhatian kita umat Islam. Karena hadist ini berbicara tentang siapa yang akan akan selamat dan siapa yang tidak selamat. Siapa yang benar dan siapa yang tidak benar. Siapa yang akan menjadi penghuni neraka dan siapa yang akan menjadi penghuni surga. Dikatakan di dalam hadist tersebut bahwa ummat akan terpecah belah menjadi tujuh puluh tiga golongan dan tujuh puluh dua golongan dari mereka itu akan masuk neraka. Mereka inilah golongan yang tidak benar itu. Mereka inilah golongan yang tidak selamat itu. Tapi ada satu golongan yang dikatakan akan masuk surga. Siapakah golongan yang akan masuk surga itu? Dikatakan di dalam hadist itu, ialah Al-Jama’ah. Pertanyaannya kemudian adalah siapakah Al-jama’ah itu? Inilah yang harus kita teliti dengan cermat agar kita tahu jalan seperti apakah yang dikehendaki Allah dan Rasul-Nya. Agar kita tahu bagaimanakah kita harus bersikap. Bagaimanakah kita harus menjalani kehidupan beragama kita ini.
Dari kata جمع ada dikatakan: جمع المتفرقة yang berarti “menyatukan yang berpecah-belah”. Ada juga dikatakan الجماعة ضد الفرقة yang berarti “jamaah lawan dari berpecah-belah”. Dari ini kita dapat memahami siapa yang dimaksud dengan Al-jama’ahitu. Kita menjadi paham bahwa mereka yang dimaksud dengan Al-jama’ah itu; mereka yang disebut akan selamat dan masuk surga itu adalah mereka yang mempersatukan. Maka, selama kita berpecah belah; selama kita terus hidup bergolong-golongan dan saling membangga-banggakan golongan, dari golongan yang manapun kita, maka kita tidaklah termasuk mereka yang selamat itu.
Menjadi amat jelaslah bagi kita dengan ini bagaimana seharusnya kita beragama dan sesungguhnya apa hal yang paling inti dari maksud kedatangan agama itu. Maka hendaklah kita benar-benar harus menaruh perhatian yang serius terhadap upaya mempersatuakan ummat ini. Disinilah letak bertauhidnya kita. Janganlah kita hanya meng-esa-kan Allah sebatas di bibir saja. Tapi hendaklah kita mengimplementasikan ke-esa-an Allah itu dalam realita kehidupan kita. Yaitu dengan cara membangun sebuah syariat hidup; membangun sebuah sistem berkehidupan yang benar-benar dapat mempersatukan dan mempersaudarakan kita semua.
Pertanyaan pentingnya kemudian dengan cara bagaimanakah kita mempersatukan dan mempersaudarakan umat manusia itu? Di tengah realita kehidupan kita yang amat majemuk ini, dimana manusia dari berbagai latar belakang suku, ras dan agama itu hidup bercampur baur dengan sedemikian rupa, sistem berkehidupan yang seperti apakah yang harus kita bangun agar ia menjadi sebuah sistem yang berkarakter mempersatukan dan mempersaudarakan itu? Mari kita lihat tentang apa yang telah Allah jelaskan kepada kita prihal keberagaman dan kemajemukan kita ini dan bagaimana kita semestinya mensikapi keberagaman kita itu.
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS. Al-Hujuraat [49]:13)
Dari ayat di atas kita dapat melihat bahwa perbedaan dan keberagaman merupakan bagian dari ketetapan Allah atas manusia. Ini merupakan sunnatullah. Perbedaan dan keberagaman adalah hal yang tidak bisa kita tolak. Perbedaan suku, ras bangsa dan bahkan perbedaan agama sekalipun haruslah juga kita pahami bukanlah sebuah ukuran mulia tidaknya seseorang. Tuhan tidak melihat orang dari semua itu. Ukuran kemulian seseorang di hadapan Allah adalah ketakwaannya. Seberapa besar baktinya kepada Allah dan seberapa besar baktinya untuk kehidupan ini. Seberapa bermanfaat ia bagi kehidupan ini. Seberapa besar kebaikan yang telah ia buat bagi kehidupan ini.