Budin dan Bengek ribut di bawah panggung. Budin menyebut rekannya, Bengek tidak cocok mengambil peran sebagai raja. Alasannya, perawakannya cebol juga suaranya kecil melengking. Tidak ada pada bagian tubuh pemuda itu dapat mendukung dirinya untuk berperan sebagai raja. Tetapi keinginan Bengek tampil memerankan raja tak dapat dihalangi oleh seluruh pemain lenong.
Bang Budin: Suara elu harusnya nggak begitu. Nggak mendukung jadi raja.
Bengek: Udah, yang penting meriah.
Budin: Tampilan raja, harus berwibawa. Bukan kayak tikus, apa lagi cecurut.
Bengek: Lu, nggak liat. Baju gue mentereng, pas. Gue bikin sendiri di tukang jahit. Lu mau bikinan orang lain baju kayak gue tampil seperti raja?
Budin tak bisa berkata-kata lagi. Terlebih jika sudah menyangkut biaya untuk kelengkapan permaianan lenong. Apa lagi membuatkan baju berjubah ala raja entah zaman apa.
Dalam kelompok lenong itu, hanya Budin yang berani menegur Bengek. Teman-teman lainnya memilih diam. Toh, mereka pikir tampil sebagai raja cuma di pentas, sebagai raja lenong. Bukan raja sesungguhnya. Cuma permainan hiburan.
Lagi pula, pikir teman-temannya, bila kemauan Bengek dihalangi bisa jadi makan gratis sewaktu-waktu tidak ada lagi. Maklum saja, Bengek tergolong anak orang gedongan, anak orang kaya karena orang tuanya menjadi pejabat di salah satu instansi.
Hari-hari berikutnya Budin makin jengkel. Ia makin tak disukai teman-temannya. Apa yang diinginkan tak dapat dukungan dari teman-temannya. Tampilan lenong di atas panggung ceritanya di berbagai tempat itu-itu saja. Tidak ada cerita baru. Budin sempat mencurahkan isi hatinya kepada salah seorang rekannya agar dalam kelompok lenong itu ada seorang sutradara. Tidak seperti sekarang ini, peran setiap anggota kelompok lenong diatur Bengek. Kelompok itu telah didominasi oleh kemauan si cebol, Bengek.
Kelompok lenong itu, atas permintaan si cebol Bengek, kemudian diberi nama Leong Raja. Pada setiap pertunjukan, Bengek tampil memerankan sebagai rajanya.
*****