Jika di negeri ini ada gerakan para da'i menulis di media massa, bisa jadi peran juru bicara di kementerian agama (Kemenag) akan menjadi ringan. Sebab, pesan-pesan moral tidak melulu disampaikan di hadapan khalayak melalui rumah ibadah: masjid, mushola dan komunitas pengajian.
Jika di negeri ini para da’i diberdayakan kemampuan lisannya dengan kombinasi bertutur melalui tulisan, bisa jadi jangkauan pesan moral yang disampaikan tidak akan membosankan dan akan sampai lebih luas lagi.
Jika keterampilan menulis dikuasai para da'i, bisa jadi ke depan tidak perlu dikhawatirkan media sosial dapat dibanjiri pesan moral. Dapat diyakini, para da’i lebih kreatif mengemas pesan moral sehingga efektif menangkal radikalisme. Para da’i merasa ditantang mengubah wajah Islam yang masih dikesankan lekat dengan kekerasan daripada rahmatan lil alamin. Di negeri ini, Islam yang membawa kedamaian wajib dibangun.
Seorang da’i mengeluh kepada rekannya lantaran merasa kesulitan menuangkan buah pikirannya ke dalam tulisan yang dapat menggugah publik. Ia berharap, sekurang-kurangnya tulisan tersebut menarik minat untuk kalangan ulama dan lingkungan anggota jemaah majelis taklim di kampung.
Seorang mubalig merasa dirinya terangkat derajatnya di mata publik. Dia merasa makin tersohor karena didukung awak media, khususnya tatkala tampil di layar kaca. Namun ia merasa tidak puas karena popularitasnya itu tidak diiringi dengan kemampuan menulis.
Kata da’i itu, di podium dan layar kaca dirinya merasa berjaya karena leluasa mengekspresikan buah pikirannya dengan baik. Sayangnya, celotehnya yang menarik tidak sebanding dengan kemampuan menuliskan buah pikiran seperti di atas pentas pada sebuah perhelatan.
Rekan saya, jebolan lembaga pendidikan di Kairo, Mesir, merasa karirnya cepat melesat lantaran piawai ketika memberikan ceramah keagamaan di berbagai kesempatan. Ia juga pandai menuangkan buah pikiran dengan tutur kata runtun, jernih, mudah dipahami dan selalu dikemas dengan konsep jurnalistik ilmiah popular.
Padahal, yang bersangkutan tidak memiliki latar belakang jagad jurnalistik. Ustadz jebolan Universitas Al Azhar Kairo ini pandai melihat trend dengan segala isu yang ada di tengah masyarakat. Hasilnya, yang bersangkutan sering diminta untuk menulis pidato untuk hari-hari besar Islam oleh para pejabat dan ulama terkemuka.
Almarhumah Prof. Tuty Alawiyah awalnya banyak belajar pidato dari ayahandanya, ulama besar Betawi, KH Abdullah Syafi'i. Ketika remaja, Tuty Alawiyah mulai belajar membaca berita dan menjadi penyiar di radio Assyafiiyah. Dari naskah berita itulah lantas ia mengerti struktur berita. Kemudian hari ia tumbuh sebagai mubalig sambil terus belajar dan meningkatkan kemampuannya.
Suara Tuty pun lantang dengan intonasi yang tegas. Ketika tampil sebagai pembawa berita di radio Assyafiiyah Bali Matraman Jakarta pada awal 80-an, banyak orang mendengarkannya dengan baik. Bahkan sangat ditunggu di gelombang radio transistor yang pada saat itu banyak dimiliki warga ibu kota. Â
Sayangnya, untuk sekarang ini penyuluh agama (da’i atau pun mubalig) dengan kemampuan lebih makin langkah. Da’i pandai berpidato (ceramah), menulis naskah dan kemampuan melihat trend dengan segala isu yang ada di tengah masyarakat perlu diperbanyak.