Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Luka Sayapku, Lantas Lemas dan Stroke

18 Juni 2016   06:34 Diperbarui: 18 Juni 2016   17:15 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bangau hidup berkelompok dan banyak dijumpai di kawasan persawahan

Ingin rasanya segera memberi pertolongan dan mengobatinya meski jarak antara unggas berleher panjang itu dengan tempatku berdiri cukup jauh. Ingin pula secepatnya diri ini berlari di pematang sawah basah menghampiri bangau terluka itu meski saat itu matahari bersinar kuat menyinari daerah hijau nan memikat. Ingin diri ini secepatnya menghentikan pergerakan bangau yang berputar-putar menghabiskan energinya lantaran tidak mampu mengepakkan sayapnya karena terluka.

Gerombolan bangau terbang. Kumpulan binatang itu meninggalkan persawahan di daerah perbukitan nan hijau. Hanya seekor berada di tempat. Menyaksikan rekannya beranjak terbang, bangau terluka hanya mampu berputar di pematang sawah. Tak kuasa mengangkat badan meski sayap kanannya masih sempurna. Karena ulah seorang pemburu, seekor bangau terluka tertembak. Tak lagi dapat bergabung dengan kumpulannya. Bangau terluka itu nasib berikutnya akan ditentukan sang pemburu.

Ingin rasanya diri ini memberi pertolongan. Ingin rasanya diri ini meringankan penderitaan sang bangau. Ingin pula rasanya diri ini berteriak:  “Hai manusia sejagat, berilah pertolongan kepada bangau terluka itu.”

“Terkutuk kau pemburu!” kataku lagi dalam hati.

Meski panas terik, alam sekitar persawahan tetap memberikan rasa sejuk. Angin pun tak bosan bertiup perlahan dengan diselingi awan berjalan di atas langit bergumpal-gumpal saling menyusul. Petani ikut merasakan awan bergerak kadang memberikan keteduhan sesaat dan disusul terik matahari.

Beberapa petani nampak bercengkerama sambil menanam padi. Membentuk saf. Satu orang terlihat berdiri, rekannya membungkukkan badan menanam benih padi. Di tengah hamparan lahan luas, mereka saling berganti berdiri dan membungkuk. Tatkala terdengar letusan senjata laras panjang, mereka cuek. Mereka tak peduli dan tetap melanjutkan kegiatan menanam padi. Petani di Desa Daha itu sudah paham betul bahwa letusan tadi, yang melukai seekor bangau, dapat dipastikan berasal dari bedil juragan Songong, satu-satunya pemilik bedil di desa itu. 

Tak satu pun petani memberi pertolongan kepada bangau terluka saat mengepak-ngepakan sayapnya di permukaan sawah. Tidak seorang petani pun mengayunkan langkahnya ke arah bangau terluka,  meskipun jarak antara unggas berleher panjang dengan para petani tidak terlalu jauh.

Kini sang bangau terluka terdiam. Badannya basah dan berlumuran darah bercampur lumpur sawah. Nafasnya terengah-engah. Enerjinya nampak habis terkuras karena terus berupaya bergerak dan terus menggerakan sayapnya sampai titik terakhir dan tak lagi mampu bergerak. Sementara rekan gerombolan bangau lainnya tidak satu ekor pun berada di lokasi itu. Semua berhamburan, beterbangan menyelamatkan diri setelah satu letusan bedil melontarkan peluru dan mengenai seekor bangau hingga luka.

“Hm. Menydihkan sekali. Sesama rekan tak bisa menolong, mahluk sekitar tidak menghiraukan. Inikah dunia?” tanyaku dalam hati.

                                                  ******

“Ha …. ha ….. ha….,” suara tawa Songong terdengar dari kejauhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun