Kemententerian Agama (Kemenag) memang nggak punya kepedulian dengan tingginya kasus perceraian. Kok bisa begitu, ya?
Bukankah di kementerian ini orang-orangnya paling paham dalam urusan agama-agama, sesuai namanya dari kementerian itu sendiri?
Nggak percaya? Coba simak, Undang-undang (UU) Nomor 22 tahun 1946 mengamanatkan bahwa pengawasan dan pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk yang dilakukan menurut agama Islam.
Tetapi, dalam catatan sejarah, UU ini tidak menegaskan upaya untuk memelihara, merawat dan menjaga kelestarian sebuah pernikahan. Maka, bisa jadi, angka perceraian pun tinggi saat itu.
Harus dipahami bahwa perceraian merupakan pintu masalah mental dan sosial bagi anak-anak, keluarga besar, bahkan lingkungan sosial terdekat. UU itu pun tak mengantisipasi perkawinan sejenis, perkawinan antar agama, perkawinan siri, perkawinan kontrak (mut'ah), perkawinan di bawah usia hingga kini masih terus menjadi fenomena yang harus diselesaikan.
Tetapi, Anda harus maklum, UU itu lahir ketika Indonesia baru berusia setahun. Jadi, dapat dipahami bila terjadi masalah di internal keluarga, itu diserahkan kepada masing-masing pihak untuk menyelesaikannya. Kemenag tidak mempunyai tugas langsung untuk menangani dan memberikan jalan keluar kasus-kasus yang terjadi dalam keluarga.
Dalam sejarah kawin-mawin di Tanah Air, UU yang ditetapkan di Linggarjati pada tanggal 21 Nopember 1946 itu hanya mengamanatkan pencatatan nikah, talak dan rujuk. Wilayah berlakunya pun terbatas, hanya untuk Jawa dan Madura. Daerah lain, nggak dipandang.
Lah, tugas Kemenag saat itu ngapain?
Nah ini dia, nggak diam dong tentunya. Proaktif. Tentu sebelum bertindak dan membuat kebijakan melakukan kajian akademik. Bukan keren-kerenan, tapi ikut tuntutan zaman. Ujungnya, supaya dapat dipertanggungjawabkan apabila kemudian diterapkan. Apa lagi dana sudah mendukung. Nggak salah, kan?
Fakta sejarah memperlihatkan, Kemenag pernah melakukan kajian sepanjang 1950-1954. Hasil penelitian selama empat tahun dimaksudkan memetakan kualitas kehidupan keluarga. Diperoleh hasil bahwa pernikahan yang telah dilaksanakan pada tahun tersebut hampir 60 persen diantaranya berakhir cerai.
Sayang, institusi yang melakukan survei itu tidak menyebutkan berapa angka jumlah pernikahannya, hanya disebut persentase perceraiannya saja.