Nada Dasar Sama, Suara Minor Sebagai Penghias Negeri Harmoni
Sejak kerajaan Sriwijaya (692 M), umat Hindu dan Buddha hidup berdampingan dengan harmonis. Masuknya Agama Islam yang dibawa para saudagar dengan pendekatan sufisme dan tarekat, bisa diterima oleh masyarakat dengan baik, dan mampu berdampingan secara damai dengan keyakinan masyarakat yang telah ada sebelumnya.
Indonesia memang memiliki sejarah panjang dalam hal toleransi. Perumusan dasar negara Republik Indonesia pun, yang bermuara dengan disepakatinya Pancasila, merupakan wujud teladan, toleransi, dan penghargaan terhadap perbedaan dan keberagaman.
Jadi, kerukunan umat beragama sesungguhnya telah tumbuh dan berakar kuat di dalam kehidupan masyarakat Indonesia sejak dahulu. Kerukunan beragama telah menjadi jati diri dan budaya bangsa.
Realitasnya, kerukunan sebagai sebuah budaya harus berhadapan dengan situasi, kondisi, dan dinamika masyarakat yang senantiasa berubah dan berkembang.
Perkembangan zaman dan dinamika kehidupan global telah membawa pengaruh merosotnya nilai-nilai keagamaan dalam kehidupan bermasyarakat. Mengutip ucapan mantan Menteri Agama M. Maftuh Basyuni, ujian berat dalam hubungan antarumat beragama terjadi pasca peristiwa G-30S. Pemerintah menilai masih ada unsur-unsur sisa gerakan makar tersebut yang mencoba mengadu domba para pemeluk agama. Sehingga mulai terjadi bibit-bibit pergesekan antarpemeluk agama yang semula rukun dan damai.
Era digital dan globalisasi dewasa ini telah berdampak pada degradasi moral yang selanjutnya tanpa disadari mendorong intoleransi. Tentu saja pengaruh globalisasi makin menguatkan tantangan bagi anak bangsa di negeri ini untuk bersama-sama menghadapinya agar harmonisasi di negeri ini tetap terjaga, sehingga upaya menyejahteraan rakyat terasa makin nyata.
Lantas, apa yang dilakukan Pemerintah agar 'rumah', negeri harmonis itu, tidak gaduh?
Untuk itu, ada baiknya generasi muda sedikit menengok ke belakang tentang upaya untuk merukunkan anak bangsa ini. Kata Bapak Proklamator, Bung Karno, Jangan sekali-kali melupakan sejarah bangsa. Jas merah.
Tercatat  pada 30 Nopember 1967 berlangsung pertemuan para tokoh berbagai agama, yang membahas berbagai kehidupan keagamaan. Meski saat ini tak semua orang tahu, namun sebagian warga masih ingat bahwa dari hasil musyawarah itu terdengar kuat akan pentingnya tentang kerukunan bergama di negeri ini.
Kemenag menempatkan persoalan kerukunan sebagai hal penting, dan merumuskannya dalam berbagai bentuk kebijakan sesuai dengan perkembangan situasi.