Bisnis media massa ke depan makin tidak jelas. Itu bukan pernyataan basa-basi. Sebab, senyatanya, kini bukan hanya terjadi di kalangan media lokal, tetapi juga yang berskala internasional pun merasakannya.
Kantor berita, suratkabar, majalah, media elektronik seperti televisi dan radio makin sengit bersaing melalui tayangan berita dan acara menarik lain sesuai fungsinya: edukasi, entertainment dan informasi. Semua itu dimaksudkan untuk menarik pembaca, penonton sebanyak mungkin dan menaikan peringkat dari media bersangkutan.
Logis, jika ada media massa - sesuai dengan kemajuan zaman - kini juga membangun dan mengemas informasinya melalui jaringan internet, yang kemudian dikenal melalui media online (portal).
Termasuk tanyangan real time bisa dinikmati melalui jejaring streaming live. Muara dari semua itu, lagi-lagi, agar dapat disaksikan dan dinikmati warga sebanyak mungkin. Makin banyak pemirsa atau penonton dan merespon dari tayangan atau berita yang disuguhkan, akan berdampak positif bagi media bersangkutan.
Respon publik dapat meningkatkan rating media bersangkutan. Dalam ilmu jurnalistik, terutama radio dan televisi, rating merupakan perhitungan statistikal guna mengukur tingkat popularitas program terhadap penonton.
Dalil, makin tinggi rating akan berdampak pada makin banyaknya iklan yang masuk. Dengan demikian, "fulus" makin banyak. Pekerja media pun dapat menikmati "kue" iklan makin banyak di tengah persaingan ketat.
Jadi, media tanpa dukungan iklan akan mati pelan-pelan. Jika “fulus” atau uang tak punya, kata orang Arab, antum (anda) bisa mamfus (mati). Begitulah gambaran media massa kini secara sederhana.
Dan, lagi-lagi, kemajuan tekonologi informasi - yang dibarengi murahnya perangkat pendukungnya: seperti telepon genggam (handphone), tablet pc dan komputer jinjing (laptop) - secara bertahap dapat menggusur peran awak media. Jika selama ini reporter mengirim berita harus melalui proses editing, bisa jadi ke depan tidak diperlukan lagi.
Sebab, jika proses tersebut harus dilalui dan diindahkan secara berkelanjutan, ke depan tidak mustahil akan ditinggalkan publik. Pasalnya, berita tersebut cepat basi, tak aktual lagi karena kalah cepat dengan pemberitaan dari media sosial atau medsos.
Belakangan ini, beberapa media massa seperti radio, misalnya, sudah mengembangkan jurnalisme warga. Pemberitaan secara langsung, real time makin disukai dan pendengar merasa terpuaskan. Tanpa sensor pula.
Dengan demikian, peran redaktur ke depan makin terancam. Redaktur yang sebelumnya dianggap sebagai filter atau penyaring, penjaga gawang, agar berita yang disuguhkan publik dapat dipertanggung jawabkan, akurat, enak dibaca, bisa jadi akan dipersepsikan sebagai petugas sensor dan mengabaikan aktualitas pemberitaan. Sensor, pada masa lalu, dinilai sebagai penghambat kreativitas. Bahkan menjadikan seorang jurnalis merasa dirampas kemerdekaannya.