Kasus Dimas Kanjeng Taat Pribadi beraromakan mistik, menyinggung penyempitan makna makrifat dan karomah yang kemudian bermuara kepada kepalsuan dan penyesatan umat hingga akhirnya aparat harus bertindak.
Para pemuka agama setempat dinilai telah melakukan pembiaran. Padahal, jauh sebelum itu, kasusnya telah dilaporkan kepada pihak berwajib. Jelas-jelas ajaran Dimas Kanjeng menyimpang jauh dari syariat Islam. Belakangan diketahui, lambatnya penanganan kasus tersebut diduga karena pengikut Dimas Kanjeng menggurita di berbagai strata sosial dan institusi.
Dimas Kanjeng ditangkap pada pekan lalu. Dari kasus itu pula, para tokoh agama sempat menengok ke belakang. Mereka menelisik tentang ajaran mistik di Padepokan Dimas Kanjeng. Lalu dikaitkan dengan babad penyebaran agama di Tanah Jawa.
Bila memutar jarum jam ke belakang, yaitu ketika “wali sanga” – berasal dari kata “wali sangha” (kata sangha, berasal dari agama Buddha, artinya kumpulan) – mereka itu (kumpulan pemuka agama) menyebarkan ajaran Islam kepada pengikuitnya dengan didukung “kekuatan” karomah.
Bisa jadi Taat Pribadi memanfaatkan mitos “karomah” yang berkembang di daerah setempat. Penyebaran Islam masuk ke Tanah Jawa memang sarat dengan mistik dan makrifat, khususnya karomah Sunan Kalijaga yang melegenda.
Mistik, dalam istilah keagamaan (Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama) dimaknai sebagai ruang atau wilayah gaib yang dapat dirambah dan dipahami manusia sebagai upaya untuk memahami Tuhan Yang Maha Esa.
Juga, karomah menurut istilah keagamaan adalah fenomena yang luar biasa terjadi pada diri seseorang yang taat kepada Allah dan dicintai-Nya, seperti para wali. Sedangkan makrifah (makrifat) secara sederhana dimaknai sebagai pengetahuan terhadap sesuatu secara benar dan sebelumnya tidak diketahui.
Karomah Kalijaga
Adalah Adipati Tuban (Jawa Timur), Tumenggung Wilatikta, dikenal pula sebagai Aria Teja (IV) – yang juga merupakan keturunan Aria Adikara (Ranggalawe), salah seorang pendiri kerajaan Majapahit – dalam sejarah tanah Jawa tercatat sebagai raja yang sangat marah sekali dengan puteranya bernama Raden Syahid.
Raden Syahid, atau Sunan Kali (sebutan pendek dari Sunan Kalijaga), merupakan pengganti Syekh Siti Jenar yang dipanggil ke Hadirat-Nya. Sunan Kali yang semasa kecil dipanggil Raden Syahid itu, sempat memprotes ayahandanya: “Mengapa rakyat Kadipaten Tuban yang hidup sengsara dibuat tambah menderita.”
Pertanyaan Raden Syahid saat itu sangat logis karena rakyat di kawasan kadipaten miskin mengingat pada masa itu kejayaan Majapahit mulai surut dan berdampak pada kehidupan masyarakat setempat, ditambah lagi beban upeti kepada pemerintah pusat. Orang tua Raden tak bisa berbuat banyak, lantaran dia hanya raja bawahan.