Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Janda

17 November 2020   11:10 Diperbarui: 17 November 2020   11:28 592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nikita, wanita berani berhati baja. Foto | Read.id

Di kampung, sebutan janda makin populer. Ini bukan lantaran kesendirian dan kesepiannnya yang menarik perhatian, tetapi sebutan atau julukan yang dilebelkan kepada para janda sehingga bagi yang mendengarkannya menggelengkan kepala.

Hidup menjadi janda tidak diinginkan. Siapa pun bagi setiap perempuan. Mungkin ada pengecewalian ingin menjadi janda dilatar-belakangi motif tertentu, ingin menjanda untuk meraih kebebasan.

Ada pula yang punya alasan bercerai dan kemudian menjadi janda. Seperti alasan, daripada terus menerus berumah-tangga diliputi tindak kekerasan dan makin menumpuk dosa, ya lebih baik cepat bercerai.

Cerai dari kehidupan rumah tangga adalah perbuatan halal meski dibenci Tuhan. Dalam perspektif Islam, sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.

Dulu, di daerah pantai utara Jawa Barat mencuat pemberitaan, seorang anak belum akil baliq sudah dinikahkan orangtuanya. Tujuannya, jika di kolom KTP tertera sebutan janda, justru dipahami anak perempuan bersangkutan dapat meraih kebebasan.

Nah, berbeda dengan di kampung penulis sekarang. Sebutan janda tengah naik daun. Ini berawal dari celoteh seorang rekan yang sering bergurau dengan para janda.

Dalam suatu obrolan, rekan penulis itu mengatakan, janda yang berdomisili di sebelah sana lebih suka dipanggil janda "gantung". Sebutan itu bukan berasal dari dirinya, tetapi janda itu sendiri yang menyematkan kata "gantung" kepada dirinya sendiri.

Mengapa disebut janda "gantung"?

Ini yang terkesan unik. Alasannya sangat sederhana. Si janda -- yang tak perlu disebut namanya -- sesungguhnya berstatus masih punya suami. Resmi. Tercatat dalam kartu keluara atau KK.

Loh, mengapa mau disebut janda?

Pasalnya, yang bersangkutan punya suami tapi tak pernah disentuh lagi. Jangankan dikunjungi sang suami seperti sebulan sekali, misalnya. Itu tak terjadi. Jadi, punya suami tapi terasa diri sebagai janda. Maka, jadilah ia mendeklarasikan diri sebagai janda "gantung".

**

Rekan penulis yang akrab di kalangan warga ini memang punya wawasan luas dalam urusan perjandaan. Tapi, jangan cepat-cepat punya pikiran minor kepadanya. Pergaulan dengan para janda tidak bermaksud mengganggu rumah tangga orang lain. Ia tetap menjaga integritas,  seluruh anggota keluarganya dan orang sekitar terjaga dalam suasana harmonis.

Dalam suatu obrolan, lagi-lagi rekan penulis ini berucap, kalau di dekat rumahnya itu disebut janda apa?

Dengan spontan ia menjawab. Oh, kalau itu janda "biru".

Alasannya apa disebut janda "biru".

Lagi-lagi ia dengan spontan menjawab, disebut demikian karena rumahnya berwarna biru. Kediaman sang janda, rumahnya lebih dominan dengan warna biru.

Penulis pun lalu tertawa bersama.

Nah, penulis mengajukan pertanyaan lagi. Menanyakan dua janda di gang sebelah sana, masih tak jauh dari kediamannya.

Dengan spontan pula, ia menjawab, yang paling ujung di jalan sana itu adalah janda "senior". Dan yang dekat sini, janda "guru".

Disebut janda "senior" karena sudah lama hidup menjanda. Sedangkan janda "guru", ya karena yang bersangkutan seorang guru. Gitu alasannya.

Dan, kembali penulis tertawa bersama.

Namun ketika ditanyai janda "kembang", rekan penulis ini tak bisa menjawab. Agaknya, ia tak punya literatur. Atau mungkin di kampung tersebut belum dijumpai janda "kembang".

**

Belakangan ini ada tiga nama janda yang lagi populer. Setidaknya di kalangan penggiat media sosial. Pertama, yaitu, Abu Janda yang terkenal dengan celotehnya. Kadang ia tampil jenaka dalam mengkritisi berbagai fenomena sosial.

Abu Janda adalah seorang pria. Namun hingga kini tak jelas mengapa punya label janda dari pemilik nama asli Permadi Arya. Tapi itu tak terlalu penting dibahas, yang perlu diketahui ia tengah mempromosikan lagunya bernuansa kritis terhadap pimpinan Ormas Islam. Wuih, beraninya sang janda ini.

Kedua, Janda Bolong. Nah, pada saat pandemi Covid-19 ini para ibu dan emak-emak sering mendatangi penjual tanaman hias. Ya, tak lain mencari dan menawar si Janda Bolong. Harganya berapa, sudah berapa lama usianya. Juga tingkat kesegarannya sangat diperhatikan.

Para bapak berkantong tebal tak kuasa jika isteri sudah merajuk minta dibelikan si Janda Bolong.

Ketiga, adalah janda beranak tiga dari tiga suami. Ia bernama Nikita Mirzani.  Nikita yang juga artis ini tampil berani mengomentari seorang tokoh pimpinan besar Front Pembela Islam (FPI).

Ucapannya sih sederhana, hanya menyebut tukang obat. Ucapan itu terkait kejengkelannya menghadapi kemacetan ketika massa menyambut kepulangan sang imam besar.

Eh, belakangan, dampak ucapan itu menggelinding bagai "bola salju". Menjadi besar lantaran ditanggapi pentolan FPI lainnya dengan mengeluarkan ancaman akan menggeruduk kediamannya dengan mengerahkan pasukan FPI.

Wuih, siapa yang enggak gemetar mendengar ancaman mengerikan itu. Publik pun tahu kalau keroco yang mengusung pembawa revolusi akhalak ini bergerak bakal menuai kerusakan. Lihat, Bandara Soekarno -- Hatta yang rusak, tak ada yang berani mengklaim untuk meminta ganti rugi.

Takutlah. Makanya, kalau lihat pasukannya ketika tengah beringas dijamin kerusakan pasti terjadi. Kesan publik, ketika mereka beraksi aparat lemah.

Tapi, tidak dengan si janda ini. Nikita berani berceloteh seakan-akan mewakili suara publik. Andai saja penulis orang kaya, patut Nikita diberi hadiah lantaran telah menjadi wanita baja. Lantaran punya nyali besar itu. Sayangnya, penulis hanya seorang miskin yang selalu disayang isteri.

Ya, wanita baja meski tidak setara dengan Margaret Hilda Thatcher, Baroness Thatcher, LG, OM, PC, FRS, ne Roberts, politikus Britania Raya, Perdana Menteri Britania Raya dengan masa jabatan terlama sepanjang abad ke-20. 

Itulah kisah para janda.

Tapi, kalau diingat, Nikita dan publik harus sadar. Sebab, masih ada janda lain yang diam-diam kini hidup dalam penantian. Siapa janda itu dan siapa yang dinanti?

Tak perlu diberi tahu, nanti ceritanya makin panjang.

Lagi pula, penulis harus mengindahkan panduan dalam membuat artikel. Jangan muncul kesan menabrak norma agama, juga jangan melanggar rambu-rambu dalam menulis.

Salam berbagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun