Di kampung, sebutan janda makin populer. Ini bukan lantaran kesendirian dan kesepiannnya yang menarik perhatian, tetapi sebutan atau julukan yang dilebelkan kepada para janda sehingga bagi yang mendengarkannya menggelengkan kepala.
Hidup menjadi janda tidak diinginkan. Siapa pun bagi setiap perempuan. Mungkin ada pengecewalian ingin menjadi janda dilatar-belakangi motif tertentu, ingin menjanda untuk meraih kebebasan.
Ada pula yang punya alasan bercerai dan kemudian menjadi janda. Seperti alasan, daripada terus menerus berumah-tangga diliputi tindak kekerasan dan makin menumpuk dosa, ya lebih baik cepat bercerai.
Cerai dari kehidupan rumah tangga adalah perbuatan halal meski dibenci Tuhan. Dalam perspektif Islam, sesuatu yang halal tapi dibenci Allah adalah perceraian.
Dulu, di daerah pantai utara Jawa Barat mencuat pemberitaan, seorang anak belum akil baliq sudah dinikahkan orangtuanya. Tujuannya, jika di kolom KTP tertera sebutan janda, justru dipahami anak perempuan bersangkutan dapat meraih kebebasan.
Nah, berbeda dengan di kampung penulis sekarang. Sebutan janda tengah naik daun. Ini berawal dari celoteh seorang rekan yang sering bergurau dengan para janda.
Dalam suatu obrolan, rekan penulis itu mengatakan, janda yang berdomisili di sebelah sana lebih suka dipanggil janda "gantung". Sebutan itu bukan berasal dari dirinya, tetapi janda itu sendiri yang menyematkan kata "gantung" kepada dirinya sendiri.
Mengapa disebut janda "gantung"?
Ini yang terkesan unik. Alasannya sangat sederhana. Si janda -- yang tak perlu disebut namanya -- sesungguhnya berstatus masih punya suami. Resmi. Tercatat dalam kartu keluara atau KK.
Loh, mengapa mau disebut janda?
Pasalnya, yang bersangkutan punya suami tapi tak pernah disentuh lagi. Jangankan dikunjungi sang suami seperti sebulan sekali, misalnya. Itu tak terjadi. Jadi, punya suami tapi terasa diri sebagai janda. Maka, jadilah ia mendeklarasikan diri sebagai janda "gantung".