Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kepahlawanan Suku Baduy sebagai Penjual Madu

12 November 2020   18:23 Diperbarui: 14 November 2020   00:33 2365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jualan Madu. Foto | Dokpri

Banten terkenal dengan kesenian Debus. Para orangtua pasti ingat jika menyebut pelaku atau pemain kesenian tradisional itu tidak mempan dibacok, digorok.

Pemainnya mampu menggoreng telor di atas kepala. Penonton, yang menyaksikan atraksi itu, dari kejauhan berdecak kagum.

Bahkan, saking terkenalnya ke seantaro jagat, kesenian ini sering mentas di beberapa negara jiran. Negara sahabat sering pula mengundang tim kesenian ini. Debus kadang menjadi delegasi kesenian Indonesia di luar negeri.

Itu dulu. Tetapi untuk era reformasi, tubuh kebal, tak mempan tembak dan bacok seolah sudah tak setenar dulu. Bukan lagi jamannya main jago-jagoan. Dengan penuh kesadaran, di atas yang tinggi masih ada yang tertinggi. Langit pun tujuh lapis.

Tapi jangan cepat berkesimpulan lalu kesenian itu punah. Tidak. Masih banyak orang mengamalkannya secara diam-diam ilmu kebal tersebut. Alasannya, kriminalitas di perkotaan makin tinggi. Nah, di sini, ada orang perlu ilmu kebal untuk menjaga diri dan menolong orang lain.

Mulyana, seorang jurnalis Antara di Banten menyebut, suku Baduy Dalam masih memegang tradisi kuat. Cirinya, mengenakan pakaian putih dan selalu ke berbagai tempat tak menggunakan kendaraan seperti motor dan mobil. Lebih setia mengenakan baju putih, berjalan ke berbagai tempat tanpa alas kaki.

Penulis pun sering menjumpai mereka berjalan secara bergerombolan sambil membawa kantong berisi botol-botol madu untuk dijual kepada warga kota.

Berkunjung ke Kemenag. Foto | Dokpri
Berkunjung ke Kemenag. Foto | Dokpri
Sebaliknya, Baduy Luar sudah terkominasi tradisi masyarakat sekitar. Sudah mengenakan alas kaki dan pergi dengan menggunakan kendaraan dengan mengenakan pakaian warna hitam.

Tidur di lantai bagi warga Baduy adalah hal biasa. Jalan kaki berjam-jam dengan jarak jauh bukan persoalan. Penulis pernah mendapati mereka menginap di Kantor Kementerian Agama hanya ingin silaturahim dengan sang menteri.

 "Saya kenal mereka ketika saya berkunjung ke kediamannya. Saya menjadi utusan Menteri (Agama), untuk menjajaki kemungkinan dapat berkunjung ke lokasi mereka. Tapi, Pak Menteri tak jadi pergi ke sana lantaran medannya sangat berat. Jalannya berbukit menuju ke tematnya," kenang Syafrizal, salah seorang pejabat di kementerian itu.

Sebagai catatan, kehidupan masyarakat Badui lebih tertib dan rukun. Hingga kini belum pernah terjadi keributan, apalagi sampai melakukan perlawanan terhadap pemerintah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun