Â
Penulis tak sengaja menjumpai seorang rekan menggunakan dialek Sunda dengan nada kasar. Kala itu, pada saat bersamaan, tanpa sengaja menjumpai orang gila tengah mengorek-ngorek onggokan makanan bekas di bak sampah di sisi sebuah restoran.
Bunyinya begini, "sabodo teuing". Maksudnya dialek yang terdengar rada kasar itu adalah orang yang melontarkan kata tersebut mengambil sikap tidak perduli. Masa bodoh.
Nah, ketidakpedulian rekan saya itu yang terungkap dan terasa kasar, menggambarkan ia merasa jengkel ada orang gila berkeliaran namun tidak diperhatikan oleh dinas sosial. Itu adalah tanggung jawab institusi negara, pikirnya.
Realitasnya, memang orang gila yang berkeliaran di masa pandemi Covid-19 sekarang ini -- eh diam-diam -- meningkat loh.
"Ah, kok, bahasan pembicaraan ke arah orang gila?" katanya sambil berjalan berdua meninggalkan tempat tersebut untuk segera menuju ke areal parkir mobil.
"Sabodo Teuing!" ujarnya dengan nada tinggi.
Jika rekan saya, tak perlu disebut namanya, mengambil sikap tidak peduli dengan orang gila, namun tidak dengan penulis. Mengapa? Ya, lantaran pikiran sepanjang jalan terus tertuju kepada nasib orang gila di era pandemi Covid-19.
**
Pengalaman penulis bertandang ke rumah sakit jiwa beberapa tahun silam makin menguatkan ingatan betapa menderitanya orang punya penyakit gangguan jiwa.
Kala menyaksikan puteri penulis yang tengah praktek -- sebagai dokter muda -- sungguh menakutkan. Namun juga menimbulkan rasa iba lantaran di antara para pasien selalu minta perhatian dan manja.