Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pancasila di "Sangkar Emas"

31 Mei 2020   21:16 Diperbarui: 31 Mei 2020   21:14 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monumen Pancasila Sakti, Lubang Buaya, Jakarta. Setiap tanggal 1 Oktober diperingati sebagai hari Kesaktian Pancasila untuk mengenang peristiwa pemberontakan PKI pada 30 September 1965. (ANTARA FOTO/Rosa Panggabean).

 Enam tahun silam rekan penulis, Boyke Soekapdjo mengungkapkan kejadian unik, yaitu peristiwa seorang murid sekolah – dalam suatu upacara bendera - menyampaikan pengucapan Pancasila.

Kita, hingga kini, pun masih ingat bahwa Pancasila dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945, ditetapkan sebagai dasar negara pada tanggal 18 Agustus 1945.

Dalam pelajaran sejarah, tentu masih melakat di benak sebutan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang kemudian mengangkat Pancasila sebagai penjelmaan kehendak seluruh rakyat Indonesia yang merdeka.  

Beranjak dari itu, maka Pancasila punya arti penting bagi bangsa Indonesia. Karena demikian pentingnya, lantas pada setiap upacara bendera di sekolah (hari Senin), seperti juga kita ketika masih sekolah, diwajibkan ikut pengucapan Pancasila.

Ini adalah upaya bagian dari pendidikan mulai sejak sekolah dasar hingga dewasa untuk menanamkan pemahaman Pancasila dalam sanubari di setiap warga.

Sang murid dengan penuh percaya diri tampil ke hadapan deretan guru yang hadir. Rekan sekelas mereka berbaris rapi di belakangnya. Perhatikan dengan bunyinya yang begini: "Satu, Pancasila. Dua, Ketuhanan Yang Maha Esa. Tiga, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Empat, Persatuan Indonesia. Lima, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,"  

"Enam, Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia."   

Beda dengan kejadian di kediaman penulis. Kala anak-anak masih duduk di sekolah dasar, mereka diajari pengucapan Pancasila. Mereka hafal. Saking hafalnya, pembacaan itu diulangi lagi yang kemudian terdengar burung Beo yang di pelihara di pelataran muka rumah.

Lalu, saking seringnya si Beo mengucap Pancasila, ketika belum diberi makan suaranya lebih nyaring sambil menyebut Pancasila sesuai urut-urutannya dengan benar. Tidak seperti sang murid sekolah tadi.

Beo yang ditempatkan di kandang (sangkar) dengan bagus itu selalu saja menyuarakan Pancasila dengan keras ketika sang tuannya belum memberi makanan (buah) kesayangannya.

Jika saja sang Beo diajak bertanding atau kompetisi dengan murid sekolah dalam hal pengucapan Pancasila, boleh jadi dialah yang keluar sebagai pemenangnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun