Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Kita Punya Nasi Padang, Uduk, Kuning hingga Nasi Jamblang

3 Mei 2020   18:05 Diperbarui: 3 Mei 2020   18:05 802
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nasi Jamblang (Instagram Ina Koesoema)/Suara.com

Berkali-kali berkunjung ke kota Cirebon. Bukan hanya sekedar untuk tujuan kerja, tetapi juga mengunjungi beberapa anggota keluarga. Penulis sering pendapat kehormatan diajak makan nasi Jamblang, lokasinya tak jauh dari alun-alun kota tersebut. Tepatnya, di tepi jalan pada malam hari.

Ketika duduk di atas tikar tengah menikmati nasi jamblang, ingatan penulis menerawang ke berbagai jenis makanan nasi. Saat seperti ini, bikin Lapar Mata saat Ramadan. Ragam nasi di Indonesia, ada yang disebut nasi padang, nasi uduk, nasi kuning, nasi kucing dan terakhir yang lagi populer adalah nasi anjing.

Namun pada kesempatan itu penulis diingatkan soal makan nasi. Katanya, makan nasi terlalu banyak sangat tidak dianjurkan bagi orang penderita diabetes. Makan secukupnya, berhenti sebelum kenyang sangat dianjurkan. Hidup seimbang dengan makanan halal dan baik dengan gizi bagus sangat ditekankan oleh para ahli kesehatan.

Nah, lalu pembicaraan melebar. Belakangan ini soal makan nasi bisa menjadi persoalan. Bukan pada halal dan baik (toyib) yang berpotensi dipersoalkan, tetapi juga siapa yang memasak, siapa yang mengemas hingga siapa yang  mengonsumsinya.

Kala penulis bermukim di Pogung Lor, Yogyakarta, makan nasi kucing sampai lima bungkus tak dipersoalkan. Namun menjadi persoalan bagi diri pribadi ketika nasi yang dikonsumsi terlalu banyak hingga gula darah naik.

Bagi warga di luar Yogyakarta, kala mendengar nasi kucing, mereka akan merasa bingung dan bertanya-tanya. Tapi, mendengar sebutan nasi dikaitkan dengan kucing saja, membuat banyak orang jadi tertawa ngakak.

Nasi kucing memang ukurannya kecil. Bagi mahasiswa yang hidupnya prihatin mengonsumsi nasi kucing bukan hal tabu. Itu tinggal disesuaikan saja dengan isi kantong. Kala kiriman uang dari orangtua berkurang, makan nasi kucing tetap terasa nikmat ditambah dengan kerupuk plus kecap. Kita tak tersinggung, apa lagi terhina, kala mengonsumsi nasi kucing.

Jangan dikaitkan lantaran makan nasi kucing lalu kuliahnya tak kunjung selesai. Tak ada hubungannya. Kalaupun kalimat itu muncul, harus dimaknai sebagai guyonan.

Lantaran ukurannya yang kecil itu, belakangan sebutan nasi kucing mendapat saingan. Yaitu nasi anjing, ya tentu saja ukurannya lebih besar.  Publik tentu paham mengapa disebut nasi anjing? Bagi yang belum paham, bisa dicari melalui si embah google.

Yang jelas, nasi ini berawal dari peristiwa nasi bungkus yang dicap kepala anjing. Nasi anjing jadi populer lantaran dibagikan kepada orang miskin yang kemudian memunculkan protes karena merendahkan derajat manusia.

Andai saja yang membagikan nasi tersebut bungkusannya dicap kepala gajah, bisa jadi disebut nasi gajah.  Bisa jadi yang tersinggung hanya anak penulis. Sebab, ia punya nama Ganesa. Sebaiknya, agar terkesan syariah, dicap gambar onta saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun