Lantas, bagaimana kemasan beritanya?
Begini. Dalam sepekan penulis memperhatikan sebuah laman. Tergolong rajin mewartakan sang tokoh satu ini.
Pandangan penulis, hal itu sah saja di alam demokrasi. Apa lagi yang disuarakan itu memang pendapat yang dibutuhkan umat di tengah pendemi Covid-19. Ini bukan berarti penulis menyetujui pendapat sang imam. Enggaklah. Apa lagi membeo.
Belum lama ini Habib Rizieq mengeluarkan pernyataan. Melalui laman Pojoksatu, ia menyebut umat Islam agar tetap menggelar shalat Jumat. Tapi itu dapat dilakukan untuk wilayah zona hijau atau bebas dari corona atau Covid-19.
Shalat Jumat juga harus digelar dengan mengacu pada pedoman protokol Covid-19 dan aturan medis yang dianjurkan pemerintah. Harus menerapkan physical distancing atau menjaga jarak aman antarjemaah. Sampai di sini, banyangan penulis, enggak biasanya Imam FPI itu sejalan dengan pemerintah.
Sang imam, yang disebut pesannya disampaikan melalui suratnya, mengungkap untuk memperhatikan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan imbauan Pemerintah. Masyarakat yang tetap ingin menggelar shalat Jumat di rumah juga diperbolehkan.
Pesan ini dikenal sebagai 10 perintah Habib Rizieq terkait dengan shalat Jumat. Tidak ada yang salah sih dari perintah itu. Namun lantaran sang imam tinggal di negeri nan jauh, tentu ia tidak paham secara komprehensif tentang kondisi aktual di Tanah Air.
Jadi curiga, deh. Jangan-jangan 10 perintah itu sebuah rekayasa mengatasnamakan suara Habib Rizieq. Tapi, itu tak terlalu penting. terlepas dari benar atau tidaknya sang imam mengirim pesan seperti itu. Yang jelas dengan diberlakukannya pembatasan sosial bersekala besar (PSBB) dewasa ini, tentu pesan itu tidak seluruhnya nyambung lagi.
Bagaimana mungkin di tengah imbauan agar umat tak shalat Jumat di masjid dan diganti shalat zuhur di rumah, sang imam mengajak umat membolehkan shalat Jumat dengan kriteria tertentu, berdasarkan zona merah, hijau dan seterusnya.
Realitasnya, di lapangan, umat tak memperhatikan apakah wilayah tertentu sudah masuk zona merah atau bukan, pasti ia tak memahaminya. Secara administratif untuk wilayah Jakarta sudah diminta untuk tak menyelenggarakan shalat Jumat.
Mengatur dan membatasi shalat Jumat, misalnya di masjid tertentu hanya 40 orang, sulit dilaksanakan para pengurus masjid. Lagi pula tak semua masjid memiliki bilik cuci tangan (disinfektan) memadai.