Pimpinan jemaah tablig India didakwa melakukan pembunuhan karena menyebar virus corona. Sepintas, muncul pertanyaan dalam benak, apa hubungannya antara tablig dan virus. Namun, realitasnya, justru kegiatan tablig itu sesungguhnya merupakan sarana penyebaran virus corona.
Nah, bagi penulis, mendengar nama India, lalu jadi teringat lagu yang dibawakan penyanyi orkes Melayu Ellya Kadam. Lagu berjudul Boneka dari India populer pada 1960-an.
Tentu juga penulis masih ingat gaya penyanyi dari negeri ini. Yaitu, seperti anak kecil main ciluk-ba sambil bernyanyi dan menari di balik pohon pada hamparan tanah nan luas.
Dulu, dari lagu itu kemudian banyak orang menyebut India sebagai negeri Dakocan. Dakocan, menurut kamus, adalah boneka terbuat dari karet dengan bola mata belo dan bulu mata lentik.
Ini sebagian dari liriknya:
Hatiku gembira, riang tak terkira, mendengar berita, kabar yang bahagia
Ayahku kan tiba, datang dari India, membawa boneka, yang indah jelita
Oh sayang…
Namun sekali ini bukan soal cerita boneka, tetapi sebuah pelajaran bagi siapa pun dari negeri Dakocan itu. Hal itu berawal dari kasus pimpinan jemaah tablig di India yang didakwa terkait tidak mengindahkan aturan pemerintah setempat.
Sekali lagi, ini adalah contoh buruk yang diperlihatkan seorang tokoh agama di negeri itu. Di sisi lain kita pun patut memberi apresiasi kepada pemerintah setempat dalam upaya memotong penyebaran virus corona.
Perhelatan tablig diikuti ribuan peserta dari berbagai negara, termasuk dari Indonesia. Jauh sebelumnya pemerintah India telah melarang perkumpulan massa saat lockdown.
Hingga kini kantor pusat jemaah tabliq di Delhi telah disegel, sebut Kumparan mewartakan.
Kita yang memperoleh informasi itu jadi prihatin. Sebab, ribuan orang yang ikut perhelatan itu, juga dari Indonesia, Malaysia, dan Bangladesh terpaksa dikarantina oleh pihak otoritas setempat.Â
Pimpinan jemaah tablig Muhammad Saad Kandhalvi didakwa melanggar larangan menyelenggarakan perkumpulan besar. Meski kemudian tuduhannya diubah jadi pembunuhan tak disengaja, bagi kita peristiwa itu sungguh memprihatinkan. Sebab, tetap saja ia terancam hukuman hingga 10 tahun penjara.Â
Pemerintah setempat menyebut, awal bulan ini, sepertiga dari hampir 3 ribu kasus positif corona di India berhubungan dengan orang yang menghadiri acara jemaah tablig. Di Delhi, sebanyak 1.080 dari 1.561 kasus terhubung dengan acara itu. Â Â
**
Sebelumnya, di tanah air, juga diwartakan bahwa satu dari 186 jamaah Masjid Jami Kebon Jeruk, Taman Sari, Jakarta, positif virus corona (Covid-19).
Petugas kesehatan menyebut sebanyak 73 jemaah dipindahkan di Wisma Atlet. Sebelumnya pada 27 Maret, para tabligh Masjid Jami Kebon Jeruk yang berstatus ODP secara bertahap telah dipindahkan di RSD Wisma Atlet untuk menjalani perawatan.
Namun pada 27 Maret, tercatat sebanyak 39 orang masuk ke RSD Wisma Atlet untuk diisolasi dengan status ODP. Lalu pada 2 April tercatat 31 orang, yaitu 13 WNA dan 19 WNI, dinyatakan (terindikasi) positif (menggunakan rapid test).
Nah, di tengah ramainya pemberitaan virus Corona yang merenggut nyawa di berbagai negara, termasuk jumlahnya demikian mengkhawatirkan di tanah air, sungguh disayangkan masih terdengar warga mengabaikan keselamatan jiwanya sendiri dan orang sekitar.
Salah satu contohnya adalah tidak mengenakan masker. Bahkan ada oknum mengancam petugas kepolisian ketika diminta untuk menggunakan masker. Pun ada warga memukul petugas kesehatan hanya diminta untuk menggunakan masker. Wuih ... jadi prihatin.
Dari perspektif agama, ulama memandang wabah virus corona sejatinya adalah ujian dari Allah SWT. Dan, sebagai orang beriman, sikap kita adalah ikhtiar agar kesulitan yang dihadapi segera berakhir.
Cuci tangan adalah salah satu contoh ikhtiar untuk memotong mata rantai virus corona. Termasuk kebijakan pembatasan sosial bersekala besar (PSBB), yang diberlakukan dewasa ini, patut didukung semua pihak.
Setelah ikhtiar dilakukan, tentu saja kita harus meyakini bahwa upaya serius, sungguh-sungguh, dalam menanggulangi pandemi Covid-19 akan membuahkan hasil.
Bercermin dari pendapat ulama, tak pantas memperdebatkan dan membenturkan aturan seperti merapatkan dan melurusan barisan ketika shalat berjamaah dengan perintah merenggangkan barisan terkait memelihara kesehatan jiwa.
Demikian juga imbauan tak mudik sayogianya dapat diindahkan. Ritual mudik memang penting untuk menguatkan silaturahim dengan orangtua dan anggota keluarga, tetapi di tengah wabah Covid-19 ini semangat memelihara kesehatan jiwa juga tak kalah penting.
Menjarangkan jarak dalam barisan ketika shalat berjamaah tidak berarti mengurangi semangat silaturahim.
Di sisi lain, kita semua, punya tanggung jawab menjalankan fardu kifayah. Sebab, di dalamnya terkait aturan mengurus jenazah hingga sampai proses pemakaman.
Sungguh terlalu jika masih ada warga menolak jenazah lantaran terpapar corona untuk dimakamkan. Bukankah mereka itu wafat secara sahid. Umat sudah dicerahkan bahwa Corona Bukan Aib. Jika masih saja ada penolakan, tak ada pilihan, sanksi hukum harus ditegakan.
Salam berbagi.
Sumber bacaan satu dan dua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H