Sedih. Begitu mendengar gadis cilik berusia belasan tahun itu mengeluh tentang rusaknya handphone (HP) yang biasa digunakan. Lantaran rusak, maka soal-soal dari sekolah tak bisa dikerjakan.
Keluhan itu tak dapat disampaikan kepada orangtuanya, meski sehari-hari bertemu di rumah. Ayahnya, Linting, sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah. Tentu saja, untuk membiayai kehidupan sehari-hari di tengah pendemi virus Corona sekarang ini makin sulit.
Mengandalkan dari hasil pungutan iuran pemilik rumah di lingkungan pemukiman sangat sulit. Iuran pungutan tiap rumah paling tinggi Rp20.000. Itu pun kalau pemilik rumah mau ikut iuran, sementara dari hasil lain tak ada sama sekali.
Lalu siapa gadis cilik pemilik handphone rusak itu. Ia adalah Aprilia, nama yang diberikan oleh kedua orangtua sekenanya lantaran ia lahir pada bulan April.
Lintang sendiri tidak tahu ketika ditanya penulis mengapa anaknya diberi nama itu.
"Enggak tahu," jawabnya singkat.
Gadis ini belajar ikut program paket C. Lantaran sudah mendekati usia sekolah lanjutan pertama, isteri penulis berinisiatif dan mengupayakan agar Aprilia dapat belajar sehingga selain diharapkan terhindar dari buta aksara, juga tidak terpuruk dalam lingkaran kemiskinan dan kebodohan di kemudian hari.
Seluruh pekerjaan rumah disampaikan melalui WA dari sekolah. Kalau tak ada telepon genggam, ya tentu saja tidak bisa menyelesaikan pekerjaan rumah (PR).
Lantas, isteri penulis pun menampung seluruh keluhannya. Di teras rumah, gadis mungil ini bercerita, ujian sekolah memang belum diumumkan. Dulu, direncanakan pada April 2020. Tetapi, ia hingga kini belum mendapat informasi lanjutan tentang ujian paket C yang diikuti.