Dua tiga kali Aak Ijo tampil membawakan peran pembantu. Ia dalam cerita posisinya selalu sebagai pasukan suruhan dari seorang panglima perang. Penampilannya terlihat kaku, belum bisa menyesuaikan alur cerita yang ditetapkan sang pimpinan lenong.
Diam-diam Aak Ijo masih menyimpan ambisi, ingin menjadi Raja Lenong dalam setiap tampilan. Terlebih pakaian sebagai Maharaja Lenong sudah dimilikinya. Untuk mewujudkan ambisi gilanya itu, ia menyiapkan pakaian kebesarannya untuk dipakai saat tampilan di atas panggung.
Nah, di sini terjadi keseruan. Sebelum pementasan dimulai, Aak Ijo sudah mengenakan pakaian kebesaran keratonnya. Pakaian itu dikenakan tidak ruang belakang pentas, tetapi di kolong panggung. Tersembunyi, tak nampak oleh rekan pemain lainnya.
Begitu acara dimulai dan disebut Maharaja tampil di atas pentas, Aak Ijo meloncat dari depan panggung dan berdiri sambil menyatakan dialah sebagai pembawa peran raja pada pementasan itu.
Menyaksikan kelakuan Aak Ijo seperti itu, para hadirin jadi terbengong. Ada yang tertawa ngakak karena sadar bahwa pemain yang satu itu sering membawa dirinya keliling perumahan dengan becaknya. Ada yang menyebut namanya Aak Ijo sudah gila.
Suasana jadi gaduh. Karena pemain utama, sang Maharaja yang diberi peran oleh pemimpin grup lenong, bengong di atas panggung. Ia tak bisa berkata-kata lantaran Aak Ijo berceloteh menirukan raja lenong pada penampilan sebelumnya.
Tentu saja kata-katanya tidak tepat. Ngelantur. Lantas, ia diminta turun panggung. Aak Ijo bersikeras menolak. Maka, keributan pun tak terelakan.
Aak Ijo baru turun dari atas panggung setelah diminta dengan kata lemah lembut oleh seorang pemain perempuan. Hatinya luluh. Apa lagi perempuan itu adalah "kembangnya" grup lenong yang sudah lama "diincar" Aak Ijo.
Sayang, ambisi Aak menjadi Raja Lenong gagal total. Pasalnya, selain tak dapat memetik "kembang" lenong, ia harus berurusan dengan pihak berwajib.
Aak Ijo dituduh membuat gaduh perhelatan pesta pernikahan. Pertunjukan lenong pun jadi kacau karena ulah ambisinya.
**