Penulis jadi ingat cerita raja lenong ketika masih kecil. Ini lantaran dirangsang pemberitaan tentang hadirnya orang-orang yang tengah dimabuk halusinasi sebagai titisan para raja. Sebut saja pelakunya Raja Keraton Agung Sejagat, Toto Santoso, yang kemudian setelah tertangkap pihak kepolisian menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat.
Dia meminta maaf telah membuat resah masyarakat terutama warga Purworejo, Jawa Tengah.
Setelah itu muncul Sunda Empire, yang disebut melalui Sekretaris Jenderal De Heren XVII Sunda Empire Rangga Sasana adalah satu bentuk kekaisaran matahari yang ada sejak Alexander The Great (Alexander Agung), ada sejak zaman sejak 324 tahun sebelum masehi itu sudah ada.
Orang-orang ini jika dilihat fisiknya melalui layar kaca sepertinya waras. Tapi, tentang rohaninya, penulis tak kuasa memberi penilaian. Tak punya otoritas. Ini adalah wilayah para dokter ahli jiwa dan pihak berwajib (polisi) yang dapat memberi penjelasan.
Lalu, bagaimana dengan Raja Lenong berebut panggung yang diingat penulis.
Begini. Dulu, semasa penulis masih kecil, ada seorang pemuda. Seingat penulis namanya Aak Ijo. Orangtuanya, Pak Ijo, cukup kaya dan beken sebagai kepala keamanan di Pasar Enjo, Jakarta Timur. Rumah kontrakannya pun banyak meski dindingnya kebanyakan terbuat dari gedeg pada tahun 65-an.
Warga Betawi pasti tahu betul Pasar Enjo di kawasan Pisangan Lama. Dan, dulu, Aak Ijo tak mau disekolahkan ke jenjang lebih tinggi. Ia sudah merasa bangga dapat lulus sekolah lanjutan partama alias SMP dan mencari uang sebagai tukang becak.
Lalu, orangtuanya pun membelikan dua becak yang bisa dipakai secara bergantian jika yang satu mengalami kerusakan.
Aak Ijo memang berbadan kuat dan besar meski tak terlalu bagus pendidikannya. Anak itu pun membanggakan badannya yang kuat itu sebagai penggayuh becak. Bagi Pak Ijo dan isterinya tak persoalan anaknya hanya lulus SMP. Tapi, yang penting, ia sudah pandai mencari duit. Duit dan duit. Hidup dimaknai sama dengan duit. Duit. Titik.
Namun Aak Ijo yang beranjak makin dewasa punya ketertarikan dengan gadis-gadis pemain lenong di kawasan Pisangan Timur. Ketertarikan itu berawal ketika ia menyaksikan grup lenong dari Pori, kampung sebelah, tampil pada sebuah perhelatan perkawinan.
Ia sering menyaksikan lenong di berbagai tempat. Pakaian perempuan yang dikenakan persis sama seperti Ratu Keraton Agung Sejagat, Fanni Aminadia, menjadi perhatiannya. Demikian pula dalam pementasan lenong tersebut hadir seorang raja mengenakan pakaian seperti yang dikenakan Toto Santoso.