Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Bagi Pemerintah, Benarkah FPI Bagai Batu Kerikil dalam Sepatu?

6 Desember 2019   09:49 Diperbarui: 6 Desember 2019   09:57 451
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pimpinan FPI ketika tampil dalam unjuk rasa. Foto | Pintarpolitik.

 Kaca mata Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri memang berbeda. Selain ukuran, warna dan model kegemaran ketika mengenakan kaca mata masing-masing punya perbedaan, dalam hal mengambil keputusan pun punya sudut berbeda.

Fachrul Razi,  Menteri Agama pada Kabinet Indonesia Maju ini punya pengalaman militer mengagumkan. Ia punya kedekatan dengan umat lantaran tampil sebagai dai di berbagai kesempatan.  Ia kala tampil sebagai menteri agama yang baru sesumbar, radikalisme harus dienyahkan di negeri tercinta ini.

Ia pun menyerap aspirasi warga di berbagai kesempatan. Bicara dengan pihak yang memiliki otoritas dari berbagai kalangan agama-agama. Lalu Fachrul pun menangkap aspirasi itu yang kemudian disarikan bahwa memang radikalisme harus diperangi bersama.

Sejatinya, tentang radikalisme ini sudah lama bergaung. Kementerian Agama sudah lama dan melihat persoalan radikalisme bukan lagi sebagai barang baru. Permainan lama yang selalu muncul dengan kemasan berbeda.

Sayangnya, 'gebrakan' Fachrul itu tak sejalan dengan realitas yang dibuat. Apa itu? Ia punya pandangan berbeda dengan masyarakat yang menilai Front Pembela Islam (FPI) sebagai organisasi kemasyarakatan (Ormas) biasa saja. Argumentasi yang dikenakan adalah Ormas Islam itu telah menandatangani kesetiaan kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan Pancasila.

Wuih, keren. Banyak orang gembira FPI sekarang sudah insyaf. Setia kepada Pancasila?

Mengapa disebut keren? Ya, lantaran Ormas ini ketika mengenakan atributnya menakutkan. Apa lagi ketika mendatangi diskotik yang disebutnya sebagai tempat maksiat. Alasannya, karena polisi tak bergerak menumpas tempat maksiat dan sarang narkoba. Jadi, dengan alasan itu, FPI harus hadir dan berada di barisan terdepan.

Benarkah argumentasi yang diangkat itu?

Jawabnya, publik pun punya catatan sendiri. Penulis khawatir, Fachrul Razi mendapat masukan dari stafnya yang asal bunyi. Sekedar menggembirakan tanpa pertimbangan objektif. Kata oran tua jadul, pertimbangan asal bapak senang alias ABS.

Mengapa bisa demikian? Coba perhatikan untuk urusan lain di kementerian ini. Apakah sengaja atau tidak sadar memasukan bidang studi agama akan faham khilafah.  Bidang studi itu termuat pada buku pelajaran hingga soal ujian. Bisakah ini dikatakan terjadi akibat kelalaian atau kecolongan?

Hal lain juga terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji dan umrah. Meski regulasinya apik dan bagus, ya tetap saja ada umat yang terbengkalai tak terangkut untuk ibadah tersebut. Pasalnya tadi, laporan ke atas bagus dan bagus. Buntutnya, banyak masalah. Pasalnya, ini terjadi lantaran manajemen pengawasan masih lemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun