Â
Jika saja BP4 itu adalah sebuah nama bagi bocah kecil, maka penulislah yang pertama kali berupaya mendiamkanya dengan cara membujuk. Bila BP4 itu adalah seorang gadis remaja menangis lantaran tengah menanti sang pacar, maka penulislah yang akan tampil memperjuangkan untuk mendatangkan pria idamannya dengan ikhlas.
Juga bila BP4 itu seorang duafa menangis lantaran tak makan beberapa hari, maka penulis akan membantunya agar segera perutnya kenyang.
Sayang, BP4 adalah sebuah lembaga yang belakangan dikenal sebagai Badan Penasehatan Perkawinan, Perselisihan dan Perceraian (BP4).
Badan ini pada awal negeri ini berdiri demikian penting. Sekarang, lembaga itu bagai habis manis sepah dibuang. Dimanfaatkan apabila ada perlu saja, setelah itu ditinggalkan. Boleh jadi "mati suri".
Maka, jadilah lembaga yang berkantor di bunker Masjid Istiqlal Jakarta itu bagai sebuah menumen. Karyawan dan para tenaga pembimbing atau tenaga konsultan perkawinan tak lagi digaji negara. Maka, meranalah nasib lembaga itu. Karyawannya pun tak diperhatikan. Tak bergaji lagi. Sedih, kan?
Sekedar catatan bahwa BP4 adalah satu-satunya badan yang bergerak dalam bidang penasehatan perkawinan, talak dan rujuk dan upaya untuk mengurangi angka perceraian yang terjadi di Indonesia. Kedudukan BP4 itu tegas setelah keluarnya keputusan Menteri Agama RI Nomor 85 tahun 1961.
Keputusan tersebut kemudian diperkuat dengan Keputusan Menteri Agama (KMA) No. 30 tahun 1977 tentang penegasan pengakuan BP4 pusat.
Harus ada penyadaran bahwa membangun keluarga sakinah bukan pekerjaan mudah. Selain pasangan suami istri itu harus banyak mengedepankan sikap sabar, juga dalam setiap kesempatan harus mengetengahkan sikap pemaaf. Ini artinya perjalanannya membentuk keluarga sakinah banyak cobaan.
Di sinilah kehadiran pentingnya BP4. Lembaga ini diharapkan mampu memberi membimbing, membina dan mengayomi keluarga muslimin sehingga angka perceraian di seluruh Indonesia secara bertahap dapat ditekan.
**