Kembali soal ngopi. Para pedagang kopi di sejumlah kedai ternyata mendapatkan kopi dari petani kopi di luar kota Pontianak. Mereka untuk mendapatkan kopi berkualitas menjumpai petani yang tengah menjemur biji kopi di pekarangan rumahnya masing-masing.
Untuk kebutuhan konsumsi di rumah, penulis pun melakukan hal serupa. Membeli kopi langsung dari petani. Biji kopi lalu dibawa ke pasar. Di sana, penulis minta bantuan pedagang kopi untuk menggilingnya. Tanpa campuran. Enak rasanya.Â
Apa lagi kopi yang sudah digiling itu bukan diseduh langsung, tetapi dimasak di dalam wajan. Setelah mendidih, kopi diangat. Lantas disaring masuk ke dalam gelas. Hirup, seriuput. Wuih, nikmat.
Tapi, cara menikmati kopi di kedai memang jauh lebih terasa nikmat. Apa lagi ditemani sejumlah teman. Ngobrol berbagai hal, mulai isu politik hingga tokoh masyarakat yang tengah mendapat sorotan publik. Misal, soal perselingkuhan pejabat. Atau, koruptor.
Penulis yang pernah bermukim di kota seribu kedai kopi ini tahu lokasi pedagang kopi yang nikmat. Tapi jangan kaget bagi pendatang yang menyaksikan pedagang yang tengah menyeduh kopi tak mengenakan baju. Atau merasa risih takut keringat ketiaknya ikut terbawa ke dalam gelas. Hehehe.
Biasanya penulis ngopi ketika pagi hari. Â Saat hari lubur, Sabtu dan Minggu sangat menyenangkan. Sebab, kala itu banyak pejabat ikut mengantar isteri berbelanja di pasar tradisional.Â
Nah, saat menanti kedatangan istri tercinta usai berbelanja, mereka kumpul di warung kopi. Ketika mengonsumsi kopi di situ, tak ada larangan bagi siapa saja untuk bergabung.
Jadi, jangan melulu Pontianak disebut sebagai kota hantu. Ternyata di kota itu belakangan ini lebih terkenal dengan sebutan Seribu Warung Kopi. Alasannya, ya hampir di tiap ruas jalan dan sudut pusat keramaian hadir kedai kopi.
Sebut saja Jalan Gajahmada Pontianak dan Jalan Tanjungpura kini populer dengan sebutan "Coffee Street". Â Â Â
Sejatinya, budaya ngopi di kedai kopi di berbagai kota tak melulu dimonopoli etnis tertentu. Misalnya etnis Melayu dan Cina. Ternyata ketika penulis ke Singapura, Thailand dan Malaysia punya kesamaan.