Selain itu, diupayakan perbaikan darurat infrastruktur dan fasilitas umum, seperti jalan, jembatan, sekolah, dan lainnya. Masa transisi darurat menuju pemulihan juga disesuaikan dengan kebutuhan. Dihitung pula kebutuhan untuk pemulihan dan pembangunan kembali dengan prinsip will back better and saver.
Kebutuhan tersebut, seluruhnya dituangkan dalam rencana aksi nasional rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Masa rehabilitasi dan rekonstruksi berlangsung selama kurun waktu 2 tahun dan melibatkan berbagai lembaga.
Proses relokasi sampai hunian jadi, antara 1-2 tahun. Karena tak hanya rumah yang dibangun tapi juga mata pencaharian mereka. Rumah-rumah yang dibangun, dirancang tahan gempa. Sambil menunggu, mereka ditempatkan di hunian sementara.
Dan, berkaca dari korban jiwa yang demikian besar, kita masih bisa bersyukur bahwa seluruh rakyat Indonesia mendorong agar warga di Sulteng segera bangkit. Duka tak boleh terus berlangsung. Namun pertolongan harus segera bagi para korban. Kita pun menyaksikan, anak bangsa dari berbagai provinsi sigap mengambil sikap. Aksi nyata berdatangan dari pelosok negeri. Lalu, mereka saling bahu membahu memberi pertolongan.
Bantuan dari Jakarta, organisasi-organisasi kemasyarakatan (ormas), maupun dari balai-balai dalam Kementerian PUPR dikumpulkan di Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) XIV -- Palu, kemudian diserahkan kepada Pemerintah Daerah dan Korem setempat. Ada pula yang dibagikan langsung kepada masyarakat.
Sehari setelah kejadian (Sabtu, 29 September 2018) BPJN XIV Palu bergerak aktif membeli bantuan dari Mamuju berupa makanan (biskuit, susu bayi, mie instan), selimut, dan keperluan sehari-hari. Aksi kemanusiaan yang sangat luar biasa.
Setahun sudah peristiwa itu berlalu. Selama itu pula kita menyaksikan jajaran Kemenerian PUPR, dibantu para pemangku kepentingan terkait, berkerja "all out" memperbaiki infrastruktur pascabencana alam di provinsi itu.
Berkaca pada peristiwa itu, peringatan Menteri PUPR Basuki Hadimuljono patut jadi renungan dan pembelajaran. Kita, yang mendiami dan berada di jalur cincin api, sudah seharusnya memahami bahwa wilayah ini rawan gempa bumi dan tsunami.
Untuk itulah maka masyarakat perlu memahami pentingnya hidup harmonis dengan bencana. Maksudnya, kita harus meminimalisasi setiap potensi bencana yang akan terjadi pada masa depan. Terkait itu, sungguh elok jika kita dapat mematuhi regulasi pemerintah yang mengatur bagaimana sebuah bangunan didirikan.
Contoh, regulasi mengenai Rencana Tata Ruang yang mengatur zona mana yang bisa dan tidak bisa dibangun, serta sejumlah persyaratan teknisnya.
Sesungguhnya, gempa dan tsunami di Sulteng, sudah berulang kali terjadi.Tercatat, beberapa kejadian gempa di Palu, yang mengakibatkan gempa dan tsunami. Diantaranya; gempa tahun 1848, 1938, 1968, 1996, 2000, dan 2018. Yang telah menewaskan ribuan orang, dan merusak ribuan fasilitas publik (PUSGEN, 2018).