Â
Degradasi prestasi. Itulah yang sering kita dengar kala olahraga - dari seluruh cabang - pembinaanya tersendat lantaran kekurangan dana.Â
Ketiadaan dana mengurus olahraga sama saja dengan omong doang. Bual-bual. Tong kosong bunyi nyaring.
Kita sering mendengar petinggi negeri berceloteh bahwa pembinaan atlet harus dilakukan secara berjenjang dan berkesinambungan. Artinya, pembinaan dilakukan sejak usia dini hingga dewasa. Tanpa itu, mustahil bin mustahal perstasi dapat digapai.
Namun pernyataan petinggi itu tak disertai realias bahwa di negeri ini mengurusi cabang olahraga adalah lahan memetik keuntungan. Pasalnya, di situ para sponsor mau mengucurkan dana kala atlet berlaga di pentas arena.
Artinya, jadi pengurus di salah satu cabang olahraga kini dimaknai sebagai "lahan" tambahan penghasilan. Sebab, di situ ada duit yang membuat mata jadi hijau. Terlebih apabila cabang olahraga bersangkutan jadi kegemaran orang banyak di Tanah Air. Â
Setiap kali pemilihan pengurus olahraga, terjadi pertarungan sengit. Paling tidak, kalau tak dapat jadi ketua umum, diupayakan bisa menduduki barisan struktur organisasi olahraga bersangkutan.
Realitas, menjadi pengurus olahraga telah dijadikan ajang pencitraan diri, utamanya ketika mendekati pemilihan kepala daerah. Maka, jadilah pertarungan pemilihan cabang olahraga tambah sengit. Padahal, ketika sudah terpilih, orang bersangkutan "kikir" mengucurkan dana dan malah berharap biaya cabang olahraga dari kalangan donatur atau pihak sponsor.
Sejatinya, untuk memajukan olahraga di negeri ini tidak terlalu sulit. Kata kuncinya adalah komitmen. Mau bekerja keras dan keikhlasan mengurbankan dana, tenaga, pikiran dan waktu. Hindari menjadi pengurus cabang olahraga sebagai ladang penghasilan.Â
Lantas, apa sih kriteria pengurus olahraga yang ideal?
Idealnya, menjadi ketua cabang olahraga adalah orang yang memiliki pengaruh (pejabat), dompetnya tebal alias punya dana, gemar olahraga, humanis dan punya jiwa kepemimpinan.