Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

[Bagian 4] Belajar Mistik, Makrifat, hingga Tangkap Hantu

5 September 2019   06:16 Diperbarui: 5 September 2019   06:43 296
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memahami Cara Tangkap Hantu

Di atas langit masih ada langit. Jangan merasa hebat atau pandai, karena masih ada orang lain yang lebih hebat atau lebih pandai dari kita. Kehebatan adalah milik Yang Maha Kuasa.

Bila kita berada di satu daerah, amalkan nasihat ini. Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Hormati adat istiadat di tempat tinggal kita. Jangan bawa diri seenaknya, memaksa kehendak. Bukan saja kepada sesama, juga kepada mahluk lain yang juga berada di bawah kekuasaan Allah.

Rendah diri jauh lebih baik. Rendah hati di berbagai tempat harus diterapkan. Bukan membanggakan diri lantaran memiliki kelebihan dibanding orang lain. Pakai ilmu padi, kian berisi kian merunduk. Dan, pandai atau memiliki kelebihan materi sekalipun, jangan sombong. Begitu pesan guruku di teras rumahnya pada suatu hari.

Sejatinya nasihat itu sudah sering didengar. Kala konflik antaretnis berlangsung, nasihat itu seperti diarahkan kepada warga pendatang. Ya, seperti diri penulis yang kadang tanpa sadar memandang sebelah mata warga lokal dengan berbagai kekurangannya. Padahal, diri ini, jika mau jujur, jauh lebih rendah karena tak menghormati kearifan lokal yang ada.

Seperti biasa, ikhwan dari berbagai kabupaten pada hari-hari tertentu berkumpul. Sekedar memperkuat silaturahmi dan biasanya pada malam hari disusul dengan acara mujahadah. Usai mujahadah, biasanya Pak Guru mengutarakan rencana pelatihan fisik dibarengi zikir di tempat yang belum ditentukan.

Kalau pada hari-hari sebelumnya pelatihan digelar di Makam Juang Mandor, bisa jadi latihan pada hari besar Islam, seperti 1 Muharam, dilaksanakan di Pantai Singkawang. Dan, betul saja, perkiraanku bahwa latihan pada malam hingga pagi hari bertepatan dengan hari libur.

Terlebih, terdengar kabar, beberapa ustaz dari Jakarta akan ikut gabung dalam pelatihan yang sudah direncanakan itu.

**

Sebelum bertolak ke Pantai Pasir Putih Singkawang, untuk suatu latihan, penulis secepatnya mengisi bensin pada sore hari. Penuh. Takut kalau pada malam hari nanti SPBU di sepanjang jalan Pontianak -- Singkawang tutup.

Usai melakukan pengecekan mobil (Kijang), mulai dari mesin, air, AC hingga bahan bakar. Lantas, penulis menjemput dua ustaz dari Jakarta yang rencananya akan ikut bermujahadah di Pantai Pasir Putih. Wuih, hati rasanya berbunga. Senang, terlebih di lapangan nanti, panitia sudah memberi kabar bahwa tenda dan berbagai kebutuhan selama berlangsungnya pelatihan sudah disiapkan.

Usai shalat Isya berlanjut dengan kegiatan zikir rutin. Istirahat sebentar, sekira Pukul 11.00 WIB, rombongan bertolak dari Pontianak ke Pantai Singkawang.

Perjalanan Pontianak -- Singakwang bisa ditempuh dalam tiga jam. Mungkin bisa lebih cepat, karena tempat acara mujahadah belum sampai masuk wilayah kota Singkawang. Wuih, terasa enak perjalanan malam hari terlebih bersama rombongan ustaz dan Pak Guru.

Sungguh, di luar dugaan, dalam perjalanan kami mendapat ujian. Sebelum memasuki wilayah Punyuh, masih wilayah Kabupaten Pontianak, perkiraan di Desa Nusa Pati, kami sudah ditunggu seekor anjing besar di tengah jalan.

Penulis, sebagai pengemudi saat itu, sudah memberi aba-aba dengan lampu dan klakson dari jarak jauh agar segera minggir. Tapi, sungguh aneh, anjing berwarna hitam putih berlari ke arah mobil yang tengah melaju cepat. Lalu, di tengah jalan, mahluk itu lari ke kolong mobil.

Mobil kami yang bermuatan sekitar enam orang terangkat sekitar satu meter dari permukaan jalan aspal. Lantas, kembali jatuh ke atas permukaan jalan secara merata. Tidak nyungsep, tapi kembali pada posisi berjalan biasa.

Kami menduga, anjing yang tergolong mahluk halus ini dikirim dukun yang bermukim di daerah sekitar. Mereka merasa terganggu lantaran kami sepanjang jalan tak henti bermunajat kepada Allah, zikir terus tak henti-henti. Tapi, pertanyaannya, sudahkah serangan itu berakhir. Ternyata, tidak.

Bola api berjatuhan di sepanjang jalan yang kami lalui. Melihat fenomena aneh ini, hati, pikiran dan konsentrasi membawa mobil makin ditingkatkan. Pikir penulis saat itu, ternyata, pada malam hari masih ada saja orang bekerja sama dengan setan untuk mencederai tujuan mulia manusia yang hendak mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta.

**

Berbekal dari seringnya ikut perjalanan Pak Guru ke berbagai pedalaman wilayah Kalimantan Barat, memberikan pelatihan fisik ilmu hikmah kepada ikhwan, berzikir dan memberi pertolongan kepada publik yang membutuhkannya, rasa ria yang selama ini bersemayam di hati penulis secara bertahap mulai mengendur.

"Kalau dahulu diri ini seperti raja preman, sekarang diri ini terasa tak punya apa-apa. Nol besar," begitu perasaan hati kala berada di berbagai tempat.

Tanpa disadari, mungkin lantaran pikiran, ucapan, tindakan dan perbuatan, selalu  diarahkan untuk ibadah, berpasrah diri, dada yang biasanya disesaki perasaan negatif, kini menjadi terasa lapang. Ikhlas menjalani kehidupan.

Sungguh di luar logika, dalam kehidupan keseharian, langkah kaki seperti sudah diatur. Usai melaksanakan tugas rutin kantor, ketika hati tergerak untuk melangkah shalat Asyar di Masjid Sultan Syarif Abdurrahman, Pontianak, misalnya, hari itu juga ditunaikan. Lagi-lagi rasa aneh hadir. Usai shalat, disusul zikir, penulis diperlihatkan pemandangan cahaya indah di dalam masjid itu.

Sulit dilukiskan bentuknya. Apa lagi untuk diceritakan. Dan, sejak itu, pemandangan asing kerap muncul yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Jika yang hadir negatif, reaksi hati memerintahkan untuk memberi perlawanan dengan didahului bermunajat kepada Allah.

Jadi, tidak heran, dalam kesempatan praktik pengobatan, ketika Pak Guru menangkap hantu lalu dimasukan ke dalam botol, penulis bisa melihat bentuk hantu-hantu dalam botol. Jika botol berwarna merah, bentuk hantu terlihat lebih jelas. Eh, lama kelamaan, bisa juga menangkap hantu. Banyak hantu di dalam botol dikumpulkan. Diikat dengan tali. Lalu diberi pemberat, dibuang ke Sungai Kapuas.

Diam-diam, seorang diri, penulis mempraktikan sendiri. Mengundang hantu. Caranya, pada siang hari, pergi ke tepi hutan. Cari biji durian. Sediakan golok (bisa juga parang) yang patah (secara alami) dan jeruk nipis.

Ketika biji durian terkumpul, lalu dibakar dengan kayu. Tunggu sampai membesar. Ketika api menyala, masukan golok dan biji durian ke dalam api. Ketika bau biji durian terasa menyengat, ambil golok yang terbakar tadi.

Lalu, permukaan golok tadi ditaburi air jeruk nipis yang sudah dibelah. Perhatikan diri anda dan suara sekitar. Jika ada suara aneh, jangan lari. Pastikan itu suara hantu yang tengah kesakitan. Hehehe. Jangan mencoba bila tak paham. Ini sekedar berbagi pengalaman.

Bila tak ada biji durian, sebagai pengganti boleh dengan terasi. Kalau di daerah, terasi biasanya disebut blacan.

Jika saja sudah pandai mengundang hantu, maka untuk menangkap tuyul tak akan sulit. Cukup menempatkan belut (kepiting) dalam sebuah baskom diletakan di tengah rumah yang sering kehilangan uang secara misterius. Tuyul senang bermain binatang itu. Nah, ketika hadir, bisa ditangkap. Ada caranya, tentu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun