Lagu dari Betawi memang jenaka. Enak didengar dengan irama musik Gamang Kromong. Lirik lagunya juga tersusun apik dan mudah dihafal karena kata-kata yang digunakan sering terdengar dalam dialek sehari-hari.
Tapi tidak dengan Jabrik bin Gondrong, anak Betawi pinggiran dari Kampung Gondrong. "Lagu" si Jabrik sehari-hari membuat 'enek' empok-empok dari Kampung Cipondoh. Para santri di Pondok Pesantren Daarul Quran, asuhan Ustaz Jam'an Nurkhatib Mansur atau yang populer dipanggil KH Mansyur, juga mengaku 'sebel' dengan kelakuan itu anak.
Anak itu "belagunya" kelewatan. Belum 'kena batunya aja'. Warga di Kampung Gondrong juga yakin suatu saat si Jabrik bakal ketangkap polisi karena kelakuannya bikin marah orang sekitar.
"Gimana nggak marah, bawa motor ugal-ugalan dan suara dari kenalpotnya nyaring banget," ungkap Mpok Imah.
"Lagunya" saja sehari-hari bikin 'sebel'. Kalau diajak jadi biduan, bisa bubar kumpulan orang yang menyaksikan tampilan Jabrik.
Soal lagu Betawi dan "lagunya" Jabrik, Mpok Imah punya selera sendiri. Ia paling tidak suka anak muda banyak "lagu", belagu dan berperilaku buruk.
Namun soal lagu Betawi, dalam satu obrolan, ia blak-blakan menyebut bahwa lagu-lagu Betawi bikin kangen. Enak didengar, bikin hati senang karena ada humornya. Jenaka lagi.
Ini salah satu contohnya;
NANGKE LANDE Chord - BENYAMIN SUEB
"Kalo kite omongin lebih teges, udah kaya' mati segan hidup nggak mau, gitu keadaannya sekarang," kata Imah sambil mengangkat jari telunjuknya ke atas.
Setelah Benyamin Sueb wafat, memang betul lagu-lagu dari Betawi seperti "bendera putih berkibar di tiang". Menyerah pada keadaan. Padahal, siapa pun warga Jakarta akan cepat bangkit ingatannya jika disebut bait lagu "Nangke Blande diencot-encot jande", atau "Kompor Mleduk," yang dinyayikan si pelawak dan aktor; Benyamin.