Orang pinggir Betawi bertanya kepada teman sebelah dalam suatu obrolan. Katanya, ngapain mengumpulkan uang berlama-lama dan setelah terkumpul digunakan pergi haji? Apa yang didapat orang berhaji; kecuali rasa lelah, dan uang habis pula. Bahkan di sana ada yang wafat?
Ngapain pergi haji? Lebih baik mengumpulkan uang untuk modal usaha. Jelas hasilnya? Bisa jadi orang kaya, kan?
Irasional memang. Coba perhatikan, Indonesia dalam sejarah perhajian pada 2019 ini -- sesuai kuota yang diberikan Pemerintah Aran Saudi -- memberangkatkan jemaah terbanyak di dunia. Tercatat 231.000 orang dan akan diberangkatkan secara bertahap mulai pekan pertama Juli 2019.
Disebut irasional lagi bahwa untuk memberangkatkan jemaah sebanyak itu bukan pekerjaan mudah. Bila Indonesia memberangkatkan pasukan tempur dalam jumlah yang sama tentu lebih mudah. Mengapa? Ya, karena memberangkatkan pasukan terlatih lebih mudah karena terikat dalam satu organisasi, berdisiplin, punya strata pendidikan sama dan mampu digerakan karena adanya satu komando.
Berbeda dengan ibadah haji. Jemaah haji itu pendidikannya tak merata. Suku, budaya dan bahasanya berbeda. Stratanya berbeda mulai pendidikan sekolah dasar hingga doktor dan profesor, usia dan kesehatannya.
Ada jemaah ketika berada di pesawat harus diperlakukan seperti bayi karena berbagai hal. Karena itu untuk keberangkatannya perlu pengorganisasian yang mantap, mulai pendaftaran, pemberangkatan hingga pelayanan selama berada di Tanah Suci.
Jawabnya, lantaran mereka -- para jemaah itu -- memenuhi panggilan Allah. Karena itu, orang yang menunaikan ibadah haji disebut sebagai tamu Allah. Mereka pergi karena iman.
Sejak lama ibadah ini dikaitkan dengan akal manusia. Nabi Ibrahim, yang kemudian dikenal sebagai pembawa ajaran monotoisme, pun demikian berat menghadapi godaan syaitan ketika mendapat perintah Allah yang menurut logika sulit diterima akal.