Menyaksikan kerumunan manusia mulai halaman hingga memadati ruang dalam Masjidil Haram membawa diri penulis membayangkan peristiwa 22 Mei 2019 di Jakarta.
Kala berada di masjid terbesar di dunia ini, hati ini demikian damai. Terlebih saat Ramadan 10 hari terakhir ini. Namun tak dapat dihindari bahwa kabar kekacauan yang dibaca penulis melalui media sosial telah membuat diri jadi prihatin.
Tak ada kerusuhan dalam kerumunan ini. Sebab, hati dan jiwa manusia-manusia itu sudah diikat dengan iman yang kuat. Kalaupun ada petugas (askar) jumlahnya tak terlalu banyak. Petugas hanya mengatur dan memberi arahan lalu lintas orang.
Dengan bahasa "tarsan", askar mampu mengendalikan massa (kerumunan) tadi tanpa harus menimbulkan benturan antar kelompok bangsa-bangsa yang hadir di Masjidil Haram. Jangankan menyaksikan penjarahan toko, yang ada justru sebaliknya para manajer hotel dan pengusaha membagi makanan dan bersedekah di pinggir jalan.
Menyaksikan kerumunan manusia yang demikian damai tersebut, lantas hati penulis dipenuhi tanda tanya. Salah satunya, mengapa pada saat yang sama, pada Ramadan ini, bulan yang disucikan umat Muslim harus dinonadai dengan perbuatan busuk. Jakarta rusuh karena perbuatan tangan kotor.
Boleh jadi konsentrasi umat saat Ramadan ini untuk beribadah ikut terganggu. Ibadah puasa pun ditinggalkan. Bisa jadi pula aktivitas ekonomi ikut terkena imbasnya, setidaknya rakyat kecil yang dagangannya dijarah di kawasan Tanah Abang dan di berbagai tempat lainnya. Ramadan telah tercederai.
Saat peristiwa itu terjadi, memang benar muaranya telah mengarah kepada pihak aparat keamanan. Pak Tua memang sudah membangun narasi antipati terhadap pemerintahan yang sah. Kala hal ini terjadi, kurban berjatuhan, ia pun seolah menutup mata dan menyalahkan aparat.
Hmmm. Lepas tanggung jawab. Padahal rakyat yang dikelabui berunjuk rasa dan dibayar itu punya tanggung jawab, setidaknya memberi nafkah untuk anggota keluarganya.
Secara sosiologis, Pak Tua yang menyandang gelar akademi mentereng sebagai guru besar itu tentu paham bahwa kerumunan di sini dapat dimaknai sebagai orang banyak yang dapat menimbulkan sifat panik, emosional, bahagia/senang, serta sifat yang mencerminkan perilaku tidak bermoral di mata masyarakat.