Kisruh. Demikian kesan yang penulis tangkap seputar rekam biometrik bagi jemaah haji dan umrah. Bagi penulis sendiri sih tak ada persoalan untuk menunaikan ibadah umrah lantaran untuk melakukan rekam biometrik tidak mengalami kesulitan.
Penyebabnya, antara lain: lokasi perekaman tidak jauh, biaya ringan karena transportasinya mudah dan terjangkau, pelayanannya ok prima. Tapi bagi warga lain nun jauh di sana, kesulitan yang dihadapi, lantaran lokasi tempat perekaman biometrik jauh, transportasi mahal, belum bagi usia lanjut sangat merepotkan bagi anggota keluarga dan jumlahnya banyak.
Pikir! Tapi, jangan emosional dulu. Ibadah disertai perasaan mendongkol tentu tak membuahkan hasil menggembirakan. Bukankah ke Tanah Suci untuk umrah dan ibadah haji itu senyatanya merupakan upaya mencari ridha Allah. Di sana, kita menjadi tamu Allah. Nah, karena itu, lakukan penuh ikhlas. Mengedepankan rasa sabar sangat indah. Titik.
Kalau tak ada kemacetan sih, ya hanya 30 menit. Itu kalau hari libur, tapi kan perusahaan perekaman biometrik yang ditunjuk Arab Saudi, yaitu Visa Facilitation Services (VFS) Thaseel (penyelenggara pembuatan visa) tidak bekerja 24 jam.
Namun sebelum beranjak lebih jauh berbicara tentang rekam biometrik, sungguh elok diceritakan sedikit tentang aturan rekam ini, yang menurut catatan mulai diberlakukan sejak 24 Oktober 2018. Aturan itu merupakan sebagai prasyarat pembuatan visa jemaah haji, yang ditetapkan oleh pemerintah Arab Saudi. Realitasnya, layanan itu mulai berlangsung pada Senin (11/3/2019) lalu.
Sebagian umat Muslim yang pernah menunaikan ibadah haji dan umrah tentu paham. Tapi untuk menyegarkan ingatan, perlu diulang. Intinya, biometrik adalah metode untuk mengenali seseorang berdasarkan ciri-ciri fisik, karakter, dan perilakunya secara otomatis. Pengenalan karakter ini dilakukan melalui retina, sidik jari, pola wajah dan sebagainya.
Perekaman biometrik dilakukan untuk mempermudah jemaah calon haji saat mendatangi Tanah Suci. Pelayanan rekam biometrik bertujuan memangkas waktu antrean, dan mengurangi kelelahan jemaah haji setibanya di Saudi.
Dengan dilakukan perekaman tersebut di Tanah Air, penumpukan jamaah saat di bandara khusus jamaah Indonesia diharapkan tidak ada lagi antrean yang memakan waktu yang lama.
Proses perekaman data biometrik, berdasarkan pengalaman, nggak lama, kok. Hanya sekitar empat jam untuk satu kelompok terbang (kloter). Ini berbarengan dengan persiapan segala kebutuhan lainnya sebelum berangkat seperti pemeriksaan kesehatan, pembagian gelang elektronik, kunci kamar hingga uang saku.
Pada tahun sebelumnya proses ini dilakukan saat jamaah tiba di Bandara King Abdul Aziz Jeddah, Arab Saudi. Pada tahun ini untuk pertama kalinya dilakukan di Indonesia. Hal itu dimaksudkan untuk mempermudah imigrasi di Arab dan faktor kelelahan karena mengantre.
Khusus dari ketiga embarkasi tersebut, jamaah akan melakukan proses verifikasi akhir (pre clearence) berupa perekaman satu sidik jari dan stempel paspor di Bandara Cengkareng dan Surabaya.
Kenapa hanya di Cengkareng, ia menjelaskan adanya keterbatasan waktu dan negosiasi yang baru mencapai sepakat pada akhir bulan puasa. Kedua adanya keterbatasan sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki Direktorat Jenderal Imigrasi Arab Saudi.
**
Lantas, mengapa rekam biometrik ditolak?
Sederhana sih alasannya, yaitu, jemaah umrah mengalami kesulitan lantaran kantor VFS-Tasheel baru ada di beberapa titik, seperti Aceh, Medan, Jakarta, Semarang, Makassar dan lain-lain.
Sebelumnya, asosiasi pengusaha travel umroh bersama puluhan masyarakat, melakukan aksi damai ke Kantor Wilayah Kementerian Agama (Kanwil Kemenag) Sumut, di Jalan Jenderal Gatot Subroto, Rabu (3/10). Intinya, mereka menolak kebijakan pemerintah Arab Saudi, yang menerapkan visa biometrik melalui VFS-Tasheel.
Seperti penulis saksikan, pagi hari sebelum Cipinang Indah Mall dibuka, jamaah umrah sudah datang ke kantor Tasheel. Mereka disambut ramah petugas di depan pintu dan selanjutnya masuk ke ruang untuk mengambil foto biometrik dan sidik jari.
Nah, di dalam ruangan, petugas menanyai nama penulis dan tanggal lahir. Padahal di dalam paspor yang diserahkan sudah tertera. Lantas, petugas sambil melakukan perekaman, lembaran paspor dimasukan ke dalam mesin print.
Setelah diproses sidik jari dan biometrik, lantas petugas meminta bayaran dengan kisaran Rp120 ribu per orang. Jika lewat travel yang didukung surat pengantarnya, dibebani tarif Rp114 ribu melalui pembayaran tunai dan bukan lewat kasir, loh. Di sini, setiap kamar, ditempatkan petugas berpenampilan necis berdasi. Sayangnya, cara layanannya terasa lebay.
Jika besaran biaya yang dikeluarkan per orang sebesar itu, maka bila satu tahun jamaah umroh Indonesia sebesar 1.005.086 orang, maka VFS-Tasheel akan meraup uang dari jamaah sebesar Rp102 miliar per tahun. Hehehe itu baru perkiraan, lo!
Ketika kita melakukan rekam biometrik, terpikirkah dengan saudara-saudara kita yang berdomisili di pelosok. Misalnya yang berada di Pulau Nias, Kepualauan Aru, Kai dan Raja Ampat.
Bagi muslim berdomisili di Pulau Nias, mereka harus terbang ke Medan hanya untuk sidik jari, sebelum mereka berangkat umrah. Berapa tiketnya? Berapa waktu yang dihabiskan?
Lantaran alasan itulah maka proses biometrik yang dilakukan perusahaan VFS-Tasheel ditolak.
**
Kementerian Agama bukan tidak tahu kesulitan yang dihadapi dalam pengelenggaraan umrah dan haji dengan aturan baru itu. Bagaimana mungkin melayani jemaah haji dan umrah sepanjang musim jika pusat perekaman biomterik VFS-Tasheel hanya hadir di beberapa titik.
Bahkan ketika dinyatakan dibuka secara resmi pada Senin (11/3/2019) kemarin, layanan VFS Tasheel belum seluruhnya secara serentak melakukan perekaman. Saat ini, sudah ada 34 kantor layanan VFS Tasheel, kecuali Provinsi Papua, Papua Barat, dan Maluku Utara.
Sementara Ditjen PHU tengah mengupayakan penambahan tujuh titik layanan perekaman, yaitu di Solo, Semarang, Cirebon, Serang, DI Yogyakarta, Pekanbaru, dan Palembang.
VFS Tasheel perlu menyediakan layanan bergerak untuk jemaah haji yang memiliki akses susah menuju kantor perekamanan. Layanan tersebut mirip dengan SIM Keliling. Demikian pula untuk Papua, disesuaikan dengan kondisi setempat. Idealnya, kemungkinan layanan bukan dalam bentuk kantor tapi dalam bentuk bio mobile.
Untuk teknis perekaman biometrik haji, proses perekaman dapat dilakukan dengan basis manifest daftar jemaah haji yang diterbitkan oleh Kemenag. Manifest itu diserahkan ke pihak VFS Tasheel untuk dilakukan input data. VFS Tasheel selanjutnya akan membuat jadwal perekaman. Jemaah lalu datang ke kantor VFS Tasheel sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan.
Bagi Ditjen PHU Kementerian Agama untuk merealisasikan itu mudah saja. Apa lagi telah ditargetkan oleh Menko PMK Puan Maharani kepada Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tentang perbaikan layanan rekam biometrik jemaah haji dan umrah. Tentu saja, layanan jemaah mengalami perbaikan. Dengan catatan, jika juga pihak VFS Tasheel membuka diri untuk bersinergi meningkatkan layanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H