"Lu jual, gue beli!" itu kata orang Betawi.
Makna kalimat "lu jual, gue beli" sejatinya bermakna positif. Tapi dalam konteks kontestasi Pilpres 2019 sudah meleset dan menjauh dari maksud ungkapan itu sendiri. Tegasnya, sudah menjurus kepada negatif. Bahkan dijabarkan seperti "lu tonjok, gue bales" yang berujung terus menerus menuai gaduh.
Dendam belum terbalas, belum puas hingga lawan binasa. Begitu kira-kira.
Padahal makna "lu jual, gue beli" adalah suatu aktivitas saling menguntungkan. Jika anda ditonjok lantas dibalas dengan tonjokan pula, kapan tercipta kedamaian (negeri). Padahal bisa diselesaikan secara kekeluargaan, melalui pihak kepolisian.
Berbeda jika anda menjual lantas ada yang menyambut dengan membeli, menunjukan hal positif dan tentu menguntungkan.
Laman Perpustakaan Satria mengungkap bahwa 'loe jual gue beli' merupakan suatu prinsip yang dipegang orang Betawi yang menunjukkan bahwa mereka selalu merespon apapun dari orang lain.
Jika dia menjual, saya pasti beli; jika dia bertanya, saya pasti menjawab; dan sebagainya. Dua contoh tersebut menggambar suatu hal yang baik, bukan?Â
Atmosfir Pilpres 2019, yang makin mendekati hari pencoblosan, tidak menunjukan kesejukan bagi sebagian warga. Dan suasananya pun seperti "lu nonjok, gue bales".
Dalam kendisi seperti itu, ada pihak merasa menikmati lantaran berkah "kue" buah politik, ada yang cemas karena di lapisan akar rumput "tegang" dan ada pula kelompok bersikap masa tidak mau tahu.
"Orang tak mau tahu itu bisa disebut "bodo' ah, au ah gelap," kata orang Betawi pinggir.
Genderang perang menghadapi Pilpres 2019 kini memang makin riuh. Untuk memenangkan pasangan calon (Paslon), pasangan tim sukses kedua kubu: Joko Widodo - KH Ma'ruf Amin dan Prabowo Wubianto - Sandiaga S Uno melakukan berbagai strategi.