Pers dikritik. Sebab, tidak menjalankan fungsi kontrolnya, yaitu mengeritik. Bukan mengeritik anggota dewan, bukan pula kepada presiden, apa lagi kepada jajaran penegak hukum seperti pihak kepolisian dan seterusnya.
Pers dikiritik. Karena dinilai ada dari kalangan pers menjual diri menjadi pelacur intelektual. Sayang, pengeritik pers itu tidak menyebut siapa pelacur seperti yang dilontarkan tokoh reformasi Amien Rais.
Pers kembali dikritik. Lantaran organisasi pers pada saat Hari Pers Nasional (HPN) 2019 di Surabaya memberikan anugrah penghargaan medali Kemerdekaan Pers kepada Presiden Joko Widodo.
Lantas, pertanyaannya, adakah pers berbuat salah. Jawabnya, menurut penulis, tidak. Sebab, pers juga memiliki hak yang sama dalam menyampaikan pendapat dan memberi apresiasinya kepada siapa pun.
Adalah Fadli Zon, Wakil Ketua DPR RI yang mengkritik awak media atas pemberian penghargaan kemerdekaan pers untuk Presiden Joko Widodo. Alasannya, pemberian penghargaan itu ironis.
Menurut penulis, PersIndonesia2019 wajar pers memberikan apresiasi kepada Presiden Joko Widodo (9/2/2019). Dewan Pers tentu sebelumnya melakukan kajian mendalam dan menilai bahwa Presiden layak menerima apresiasi tersebut. Alasannya, Â Joko Widodo dinilai ikut mendorong kebebasan pers.
Selain menjamin kebebasan pers, kedepan, Joko Widodo juga menjamin tak ada lagi pemberedelan kepada perusahaan pers dan awak media dalam menyampaikan pendapat dan melaksanakan tugas kejurnalistikan. Â
Semua pihak perlu menyadari bahwa institusi pers bukan hanya mewakili para pekerja pers atau pemilik industri media semata. Pers juga mewakili suara dan kepentingan publik. Pers adalah penyambung lidah publik. Pernyataan Fadli Zon yang disampaikan lewat media itu, sampai di sini penulis setuju karena pers itu sejatinya mencerminkan suara publik.
Namun di sisi lain, pers juga berhak menyampaikan apresiasinya. Â Awak media dapat bekerja baik juga karena institusi hukum di bawah presiden ikut mendorong dan memberi jaminan kebebasan pers. Pers memang penyambung lidah publik, tetapi ia hadir bukan sebagai penyampai press release, apa lagi brosurnya penguasa. Apa lagi dalam menjalankan tugasnya menjilat penguasa. Nggak lah!
Dalam era demokrasi, pers punya kewajiban menyampaikan kritik dan solusinya kepada pemerintah tanpa harus merasa tertekan seperti yang terjadi pada era Orde Baru. Ini harus dicatat. Penting bahwa kritik yang disampaikan harus dimaknai sebagai upaya meningkatkan pemahaman, memperluas apresiasi, atau membantu memperbaiki keadaan.Â
Pers juga punya kewajiban menerbarkan rasa optimisme kepada masyarakat dan tidak melulu mengikuti selera pasar. Peran media sebagai kontrol sosial, Â memang diperlukan, namun jangan sampai menimbulkan rasa pesimisme warga. Apa lagi menimbulkan rasa takut di tengah masyarakat.