Dikit-dikit menyebut dizalimi. Dikit-dikit bercerita kepada teman bahwa dirinya dizalimi. Siang, malam dan di berbagai tempat dan kesempatan,  sepertinya tidak "afdal" bila tidak menyebut kata dizalimi.  Kehadiran di muka bumi ini terasa tidak sempurna bila tidak menyebut dizalimi, meski  tidak ada yang menzalimi.
Kata zalim, dizalimi, menzalimi, penzaliman belakangan ini terasa makin mendapat tempat di hati masyarakat karena seringnya publik dijejali kata zalim. Kalau di lingkungan pengajian kita sering mendengar kata zalim, hal itu biasa. Tapi, lihat, ketika artis berkelahi dengan sesamanya, mereka di layar kaca melontarkan kata-kata zalim.
Pengacara pun makin rajin menggunakan kata zalim katika membela kliennya. Pengacara lain juga sama saja ketika mempertahankan argumentasi dari serangan pihak lawan.
Kata zalim dahulu jarang digunakan. Belakangan seolah "naik daun". Â Kata zalim makin populer dalam tahun politik ini. Mengapa?
Begini. Pada pembicaraan di sebuah warung kopi di kota Batam, para politisi tengah kumpul. Biasa, di sini mereka tengah kongko, ngobrol. Bicara ngalor-ngidul membahas kesiapan menghadapi Pilpres 17 April 2019, yang belakangan ini "tensinya" makin meninggi.Â
Sebut saja namanya si Raudin dengan sejumlah temannya. Ia menyebut, kubu 02 Prabowo Subianto -- Sandiaga S Uno telah dizalimi rekannya sendiri. Bisa disebut peristiwanya seperti menggunting dalam lipatan yang berujung pada penzaliman.
Mendengar kata-kata "menyeramkan" itu, kuping penulis terasa berdiri. Ingin mendengar, apa sih yang ingin disampaikan. Sebagai manusia normal, punya naluri ingin tahu. Rasa ingin tahu pun semakin menggunung.Â
Tak ingin lagi mendengar suara musik, tak ingin lagi mendengar suara orang lain berceloteh di kedai kopi itu. Yang dimaui adalah, kalimat apa selanjutnya dari mulut Raudin.
Peristiwa Ratna Sarumpaet adalah puncak penzaliman kepada pasangan kubu 02. Ratna telah melakukan penzaliman terhadap Prabowo dengan mengangkat isu dirinya dipukuli orang tak kenal. Isu yang diciptakannya kala itu dimaksudkan menggiring opini publik bahwa pelakunya dari lingkungan kubu 01 Joko Widodo -- KH Ma'ruf Amin.
Usai pihak kepolisian melakukan investigasi, Â Ratna mengakui berbuat telah menciptakan berita bohong. Tapi, itu tidak berarti telah menghilangkan ingatan publik terhadap peristiwa tersebut. Publik saja masih ingat, apa lagi Prabowo, pimpinannya yang harus dihormati tetapi malah dizalimi. Ratna juga mengaku sebagai ratu hoax terbaik.
Hebatnya lagi, pengakuan Ratna itu disampaikan melalui jumpa pers yang dihadiri awak media nasional dari berbagai kalangan. Beruntungnya, saat itu, pemberitaan yang disiarkan secara langsung tidak ditambahi komentar dari kubu 02 bahwa pers telah melakukan "pelacur intelektual".Â
Kalau kalimat yang diangkat Amien Rais baru-baru ini bersamaan munculnya, dapat dipastikan publik akan bertanya siapa pelaku yang zalim, melakukan penzoliman dan merasa dizalimi.
Penulis pun pernah mendengar kata zalim dari pemberitaan penumpang salah satu maskapai penerbangan. Kita sebelumnya mendengar kabar bahwa sebuah maskapai telah melakukan sosialisasi tentang bagasi berbayar bagi penumpang membawa barang melampaui batas ketentuan.
Nah, menariknya, penumpang yang membawa barang melebihi kapasitas tersebut dikenai biaya. Ia menolak. Selain biaya bagasinya mahal melampaui harga tiket juga pengenaan biaya tersebut sebagai perbuatan zolim kepada para penumpang tersebut.Â
Lagi-lagi kata zalim muncul. Penumpang tersebut merasa dizalimi. Pelaku yang menzalimi adalah maskapai bersangkutan dan pemerintah sebagai pemegang regulasi. Ujungnya, kemarahan penumpang tersebut ditujukan  pemerintah Joko  Widodo.  Ah, kok begitu. Mudahnya menuduh Pak Presiden melakukan zalim.
Kedua Paslon Presiden kini seperti dipaksa harus "akrab" dengan kata zalim mengingat masa kampanye Pilpres masih sekitar 2 bulan ke depan.Â
Hoax bukan semakin reda meski upaya mengajak warga, anak bangsa untuk tidak menghindarinya belum cukup efektif. Sebab, sebuah berita bohong yang diulang-ulang penyebarannya dapat berpengaruh kepada publik sebagai pembenaran.
Misalnya, hutang pemerintah semakin banyak. Menumpuk. Kubu 02 selalu mengangkat isu ini dalam setiap kesempatan. Sementara pemerintah, petahana 01, sudah menjelaskan posisinya. Hutang masih pada batas toleransi dan dibenarkan oleh aturan. Karena berita hutang diulang-ulang, rakyat awam lantas mengunyahnya sebagai berita benar.
Lalu,kalau sudah begitu, siapa yang berbuat zalim, menzalimi dan dizalimi sesungguhnya makin terang siapa pelakunya.
Penulis tak ingin membahas lebih jauh. Tapi yang jelas kata zolim (zalim) itu, seperti disebut Om Wikipedia, melambangkan sifat kejam, bengis, tidak berperi-kemanusiaan, suka melihat orang dalam penderitaan dan kesengsaraan, melakukan kemungkaran, penganiayaan, kemusnahan harta benda, ketidak adilan.
Dan banyak lagi pengertian yang dapat diambil dari sifat zalim tersebut. Pada dasarnya sifat ini merupakan perbuatan keji dan hina, dan sangat bertentangan dengan akhlak dan fitrah manusia, yang seharusnya menggunakan akal untuk melakukan kebaikan.
 Zalim dalam ajaran Islam adalah meletakkan sesuatu/ perkara bukan pada tempatnya. Orang yang berbuat zalim disebut zalimin dan lawan kata dari zalim adalah adil.Â
Nah, mumpung masih dalam suasana kampanye, ada baiknya mewaspadai dan berhati-hati dalam penggunaan kata, apa lagi, zalim. Apakah kita telah berbuat zalim terhadap diri sendiri, zalim terhadap sesama atau sebagai upaya menarik simpati dan mencari dukungan dengan menggunaan kata tersebut.
Catatan bacaan satu dan dua
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI