Perhitungan Bang Mardudim kadang tepat. Pasalnya, ia diam-diam menggunakan ilmu Tokek untuk mengambil keputusan. Itu bisa dilihat ketika ia menentukan pilihan, ikut partai A atau memilih partai B. Atau tidak sama sekali memilih alias Golput sehingga terbebas dari kerugian. Ia sadar berpolitik itu perlu 'logistik', salah strategi bisa "amsyong" seperti juragan sayuran tetangganya.
Mardud, demikian saya memanggilnya, selalu bekerja dengan teliti. Perhitungan. Diyakini, cerdas atau pintar saja tidak cukup dalam berpolitik. Karenanya, ia dalam melangkah pun harus tahu kapan hari keberuntungan datang dan menghindari 'sial' pada jam-jam tertentu.
Bagaimana ia mempraktikan ilmu Tokok itu. Cukup sederhana. Ia berkeliling kampung dan mencari  rumah yang dihuni Tokek. Kala Tokek mengeluarkan suara, ia seperti anak kecil mengikuti suara Tokek dengan kata-kata "boleh, tidak, boleh, tidak". Kalau suara Tokek berakhir dengan kata tidak berarti ia tidak boleh masuk partai.
Buku ramalan sio, horoskop hingga primbon diam-diam dipelajari. Â Petunjuk primbon, jika dilihat dari tanggal kelahiran, Mardud tidak cocok menjadi politisi. Bila dilihat dari horoskop, ia tidak punya watak kuat untuk menghadapi para pembohong atau pembual. Apa lagi bermain kata-kata, memutar fakta atau memainkan isu menjatuhkan lawan, pesaing dari kubu lawan seperti disaksikan di layar televisi.
Apa lagi perhitungan sio. Mardud bersio kerbau. Karena itu, jangan heran, ia punya gerak lambat. Pemalas. Tapi Mardud tak percayai seluruhnya itu. Nih, buktinya, ia bisa mengetahui peta perpolitikan karena rajin mempelajari ilmu perpolitikan, ilmu sosial hingga perkelenikan. Perhitungannya pun selalu tepat.
"Abang itu pemalas. Baca buku melulu. Tak kerja fisik atau berolahraga. Karena malas gerakan badan, perut jadi gendut. Kaya kerbau," kata istrinya, Saidah suatu ketika.
**
Sebelum keluar rumah, Mardudim berkaca. Ia mengulang materi pidato yang disiapkan. Di depan cermin sambil berceloteh, ia menggerakan tangan, menunjuk ke atas dan pandangan dengan mata belo. Berpidato di hadapan cermin sangat baik. Pikirnya, dengan cara begitu ia akan mengetahui kekurangan yang ada pada dirinya. Apakah retorikanya bagus? Hanya ia yang tahu bersama Tuhan meski semua itu  tak ada yang mengeritik. Tapi, lagi-lagi pikirnya, itu semua tidak terlalu penting.
Tampil berpidato di hadapan publik dengan gaya khas diri sendiri penting. Soekarno, Presiden RI punya gaya sendiri. Soeharto dengan pidatonya yang datar ternyata juga punya pengikut setia. Semua presiden punya cara khas untuk merebut pengikut. Pikir Mardudim, berpidatolah dengan gaya khas yang dimiliki. Jadilah diri sendiri tanpa dibayangi oleh penampilan orang lain.
Tapi, itu saja belum cukup. Berpidato di hadapan banyak orang harus melihat momentum dan memperhatikan audiennya. Kalau yang hadir kalangan akademis, maka isi pidato harus diselingi kata-kata asing. Supaya terlihat intelek. Kalau di hadapan kalangan berpendidikan rendahan, ya harus menggunakan kalimat yang mudah "dikunyah".
Kini Mardudim belum juga percaya diri. Rasa "Pede" makin menjauh. Â Pasalnya, ia belum mendengar suara Tokek untuk mengetahui apakah pidatonya di hadapan calon anggota legislatif dapat memberikan semangat.