Para tetangga itu baru mengerti mengapa nenek Masturoh kadang mengenakan kaca mata hitam pada pagi hari tatkala matahari terbit. Kaca mata hitam dikenakan nenek untuk menghindari sinar matahari agar tidak menembus biji matanya yang baru dioperasi belum lama itu.
"Tapi, kok nenek sekarang genit, ya?
Pasien lansia Acub sudah melek kesehatan. Karena itu, mengantre berobat sesulit apa pun akan ditempuh. Sehat adalah segalanya. Sehat itu investasi.
Dan, di bawah ini cuplikan singkat kisah penulis ketika mengantar orang tua berobat di RSUD Cibinong, Jawa Barat.
Kegembiraan Orang tua
Nenek Masuroh baru menyelesaikan operasi kataraknya. Dokter Rosdeni SpM, yang mengoperasi kedua bola matanya, menganjurkan mengenakan kaca mata hitam tatkala menghadapi sinar matahari yang terlalu terik.
Sedang kaca mata yang dibelinya dengan resep dokter digunakan untuk membaca. Juga untuk melihat pemandangan indah dari jarak jauh.
Awalnya, bola mata kanan nenek yang diopersi. Operasi ini berlangsung sukses. Sebulan berikutnya, bola mata kiri dioperasi dan berhasil pula dengan baik.
Sebelumnya nenek mengeluhkan mata kanannya yang sudah tak melihat. Yang nampak hanya bayangan.
Ketika diajak untuk dioperasi, ia tak mau. Takut buta. Tapi, setelah sukses operasi bola mata kanannya, mata kirinya minta dioperasi.
Nenek Masturoh bisa mengenali wajah setiap orang yang melintas di hadapannya. Saking gembiranya, kadang dia terlihat "over". Suka tampil berlebihan. Sehingga, sikapnya yang "lebay" itu menimbulkan kesan genit di mata para warga setempat.
Nenek Masturoh membawa kue dan memberikan kepada dokter sebagai ungkapan rasa syukur atas layanan para doker dan petugas lainnya di rumah sakit itu. Sebab, selama menjalani operasi, pascaoperasi, perawatan jalan dan obat-obatan ia tak mengeluarkan uang satu rupiah pun.
Ia memang menjadi peserta Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sejak medio Desember 2014, hampir setahun setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menetapkan badan tersebut mulai diberlakukan pada 1 Januari 2014.
Antrean Aneh
Pemuda kumel -- lantaran semalaman tidur di muka pintu rumah sakit -- terlihat gembira. Ia mendapat posisi barisan pertama antrean nomor pendapaftaran berobat di RS Cibonong. Namun setelah mendapat lembaran antrean, yang didapat bukuan nomor awal (satu) tetapi di angka 10.
Tapi pemuda itu tak marah meski datang paling awal sejak pintu rumah sakit ditutup tengah malam, kemudian ia tidur di teras rumah sakit itu.
Berbekal nekad, pemuda setengah baya dan gondrong dekil itu mau bersusah payah mendapatkan nomor antrean untuk orang tuanya yang sudah memasuki lanjut usia atau lansia.
Tetapi bagaimana dengan yang lain, para lansia tak diwakili harus antre sendiri mendapatkan nomor berobat. Sejak subuh, penulis saksikan, di antara para orang tua tersebut berdiri dengan susah payah. Jika saja tak ada pengantre ikut membantu, bukan mustahil ada lansia yang terjatuh.
Sungguh tepat ungkapan hanya orang miskin yang punya modal kesabaran. "Ya. Kalau tak sabar, banyak orang miskin akan nekad menjadi kriminal," pikir penulis.
Satu jam sebelum azan subuh, aktivitas antrean sudah terlihat di pintu. Cara antreannya pun terlihat rada 'asing'.
Para pengantre berinisiatif, mulai pukul 04.00 WIB sudah meletakan helm di lantai sebagai tanda pemiliknya mengantre, kemudian disusul pengantri berikutnya.
Benda atau barang yang diletakan di lantai sebagai antrean bisa macam-macam, helm, topi, map, botol minuman, dan tas. Saat pintu gerbang rumah sakit hendak dibuka satpam, para pengantre berinisiatif berbaris teratur sesuai dengan benda yang diletakan pemiliknya masing-masing.
Antrean nomor berobat pada pagi itu sedikit berbeda dengan hari-hari sebelumnya. Suasana sedikit hangat.
Pengantre seolah mendapat tambahan hiburan di pagi hari yang cerah itu. Seorang wanita berambut panjang mengenakan pakaian dinas rumah sakit tersebut tampil agak beda pula.
Ia tanpa ikut antre, ujug-ujug sudah berada di barisan terdepan menjelang pintu gerbang dibuka. Persis tak jauh dari pemuda kumel yang menanti pintu dibuka sejak malam untuk mendapatkan nomor berobat.
Ia menyebut ada calo nomor ikut antrean di situ. Lantas, ocehan wanita centil itu ditimpali pengantre di barisan belakang. Katanya, siapa lagi kalau maling teriak maling.
Tentu saja si wanita berpakaian dinas tersebut terlihat tersinggung. Ia pun menunjuk-nunjuk wanita di barisan tengah untuk menghadap dirinya jika nanti sudah di dalam. Ucapan si wanita tadi ditimpali pengantri lain.
"Seperti polisi saja. Nanti ikut saya juga, ya!"
"Horeee,"sambut para pengantre serempak.
Tepat pukul 06.15, Achmad - pegawai RSUD Cibinong, Jawa Barat - dengan dibantu seorang pegawai honorer membuka pintu masuk dan membagikan nomor antrean secara bergiliran.
Dengan mengenakan layaknya pegawai Pemda, Achmad yang berpenampilan necis itu juga membantu memberi penjelasan kepada para pendaftar tentang prosedur layanan di rumah sakit setempat.
Saat antrean berlangsung di loket seorang petugas memberikan penjelasan kepada para pengunjung. Petugas berperawakan usia 30 tahunan itu mengingatkan agar setiap pasien melengkapi dokumen, seperti foto copy kartu BPJS, kartu tanda penduduk atau KTP, surat rujukan dari Puskesmas.
"Mengantre harus sabar. Yang antre di sini bukan dari Cibinong saja, juga berasal dari Sukabumi dan daerah Jawa Barat lainnya," kata si pemuda itu dengan menggunakan pengeras suara.
"Untuk lansia, antrean di layani terpisah," ia menambahkan penjelasannya.
Di lain kesempatan, penulis kembali mendatangi RS Cibinong. Ada yang unik. Para pasien begitu sampai langsung duduk di tepi lorong jalan rumah sakit. Seperti biasa, mereka yang berobat itu sudah tiba sebelum azan Subuh berkumandang. Meski kebanyakan bermukim jauh dari rumah sakit, tetap saja diupayakan datang menggunakan ojek, kendaraan sewa dan pribadi.
Begitu tiba di halaman parkir, ada di antaranya cepat bergegas ke masjid terdekat untuk melaksanakan shalat dahulu. Setelah itu, mereka mengambil posisi duduk di tepi lorong jalan rumah sakit. Lantas, disusul para pasien lainnya duduk di tempat yang sama di sisi kiri.
Penulis ikut dalam barisan ini. Duduk, lalu ngesot ke arah kanan perlahan di susul lainnya dengan gerakan serupa. Tentu, acara ini diisi sambil ngobrol dengan orang yang berada di sebalah kanan dan kiri.
Sebagai pasien baru, cara antre berobat seperti ini rasanya rada asing. Di beberapa rumah sakit, pasien BPJS antre duduk setelah mendapat karcis dari petugas.
Di sini, antrean pasien ada dua macam: pertama untuk mendapatkan nomor antre berobat, kedua setelah mendapat nomor antre berobat barulah ikut antre pendaftaran ke dokter yang dituju.
Antrean pertama sangat menentukan jadi atau tidaknya berobat. Sebab, ketika nomor habis, maka bisa jadi yang bersangkutan tak dapat berobat. Bisa pula diberi tahu untuk poli tertentu tak melayani pasien disebabkan dokter sakit, ikut seminar atau tak punya dokter pengganti.
Karenanya, antrean ngesot terlihat demikian banyak pesertanya. Sebab, mereka merasa takut tak terlayani. Penulis perkirakan antrean mengular sampai 50 sampai 70 meter sampai ke dalam rumah sakit.
Antrean ngesot berhenti tatkala pintu rumah sakit dibuka. Sekitar Pukul 06.00 WIB. Mereka cepat berdiri rapi, berjalan beriringan bagai warga tengah antre sembako -- sembilan bahan pokok -- kala zaman kampanye terbuka berlangsung. Bisa pula disamakan seperti kaum dhuafa tengah minta belas kasihan orang kaya membagikan zakat menjelang Lebaran.
Sambil ngesot, penulis mendapt cerita bahwa pelayanan sekarang sudah lebih baik. Dulu, kata rekan penulis yang baru kenal dalam barisan itu, antrean dibagi dua. Kiri dan kanan. Terjadi rebutan masuk untuk mendapatkan nomor antrean pertama. Saat berebut, kaca pintu masuk rumah sakit itu pecah.
Dulu, loket antrean untuk ke dokter hanya lima buah. Sekarang sudah sembilan loket. Pasien usia lanjut dapat prioritas pelayanan. Sedangkan kelengkapan administrasi, ada petugas yang menjadi relawan memberi petunjuk cara pengisi formulir. Lansia juga minta bantuan petugas. Namun, dalam konteks pelayanan, para suster atau para medisnya bolehlah diacungi jempol.
Bagi Acub, berobat itu menjadi kewajiban. Bukan saja tatkala fisik tengah didera penyakit, tetapi juga kala sehat pun penting memeriksakan kesehatan. Sehat baginya investasi. Dalam bahasa yang sederhana, jika badan sehat maka dapat melaksanakan ibadah dengan baik.
Acub sudah melek tentang arti kesehatan. Karena itu, mengantre berobat sesulit apa pun akan ditempuh. Sehat adalah segalanya.
Sehat itu investasi. Namun jadi persoalan, banyak di antara para pengantre dilakukan oleh perwakilan. Bukan anggota keluarga pasien. Apa lagi pasien usia lanjut yang biasanya ketika berobat harus dipandu dan dibantu oleh cucu atau anggota keluarganya.
Siapa yang dimaksud pengantre perwakilan itu? Yaitu, para relawan BPJS yang sejak Pukul 04.00 WIB sudah berada di sini dan ikut mengantre untuk mendapatkan nomor. Jika tidak dibantu, mustahil bin mustahal pasien usia lanjut bisa berobat. Nomor antre bakal habis lebih awal, karena tidak semua dokter poliklinik melayani pasien hingga melampaui jam kerja berakhir.
Ibu Ade, warga Bojong Baru, Kabupaten Bogor, mengaku sudah lebih 10 tahun menjadi relawan. Kebanyakan yang dibantu adalah para pasien miskin, buta prosedur berobat di rumah sakit dan kebanyakan tak memiliki keanggotaan peserta BPJS.
Menjadi relawan BPJS adalah panggilan hati. Ia sendiri kehidupannya tidak mewah, tetapi cukup. Jadi relawan bukan berarti seenaknya membimbing dan membatu para pasien.
Ada panduannya. Untuk ini, BPJSKesehatanMelayaniNegeri harus berada di garda terdepan dengan semangat gotong royong.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H