Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Redaktur Banting Tulang

18 November 2018   10:18 Diperbarui: 18 November 2018   11:27 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi, suasana kerja di kantor media massa. Foto | Dokpri

"Sihol pasti paham, tentu?" pikir si Jabrik.

Tapi, mengapa kepada para pewarta ia berbuat kikir untuk memberikan poin. Hal ini yang membuat dirinya kesal ketika menjumpai si redaktur banting tulang seperti disebut Kohar tadi. Kalau diberi kue pancong, pasti diberi poin bagus. Nggak ada kue pancong, nilai jeblok.

"Mau apa si Sihol ini," Jabrik mengeluh.

**

Aturan kerja di media massa beragam. Stilistik yang dibuat pimpinan redaksi dengan dukungan dewan redaksinya pun tidak selalu sama. Namun ada prinsip yang tidak boleh diabaikan. Yaitu, berita harus faktual, aktual, seimbang, penting dan lengkap memenuhi unsur 5 W dan 1 H.

"Saya tak akan menjelaskan soal buku panduan. Sebab, para pewarta sudah masuk diklat, kan?" kata Sihol dalam suatu kesempatan di hadapan para redaktur senior lainnya.

Hari itu, dewan redaksi tengah menggelar rapat. Membahas agenda setting, termasuk membahas keluhan para pewarta yang tidak mendapat apresiasi ketika mereka kerja. Tentu saja masalahnya melebar kepada redaktur Sihol, redaktur banting tulang yang kikir bin bahil itu.

Sihol dimintai penjelasannya prihal tidak memberi poin kepada pewarta ketika hasil karyanya hendak ditayangkan.

Dengan enteng, Sihol menjawab, para pewarta kita sekarang bekerja tidak memperhatikan unsur seimbang dalam artikelnya. Itu satu hal yang perlu dibahas lebih lanjut. Hal lain, tidak memperhatikan unsur sekuriti, keamanan, kebebasan dari bahaya yang kemungkinan timbul dari artikelnya.

Meski sekarang sudah memasuki era reformasi, tetapi siapa yang dapat menjamin ketika pemilik modal melakukan somasi kepada media massa. Kita bergantung pada iklan yang masuk, kita juga masih minta  belas kasihan dari petinggi negeri. Tanpa itu, jurnalis jenis apa yang dimaui.

Kita pun sudah mengerti tentang Enpat Teori Pers. Setiap negeri punya sejarahnya masing-masing. Yang jelas, posisinya sampai saat ini masih menjadi redaktur banting tulang. Masih harus berjuang.  Kemerdekaan pers itu tidak datang dari langit. Ya, harus diperjuangkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun