Ahmad Subhi (40 tahun), pedagang rujak tumbuk atau rujak bebeg, asal Indramayu, Jawa Barat, dapatlah kehidupannya dijadikan inspirasi dalam menjalani kehidupan dengan ekonomi pas-pasan.
Hidup serba pas bukan ikut parameter Badan Pusat Statistik (BPS). Tapi, pas sesuai ukuran dirinya. Boleh diumpamakan, baju yang disebut pas ketika dikenakan di badan terasa enak, nyaman meski dari sudut kriteria estetikanya belum tentu sama bagi semua orang.
Nah, pas yang dimaksud si tukang rujak bebeg ini adalah dari sisi pendidikan, permodalan usaha dan semangat menjalani usaha sebagai amanah untuk menghidupi anak dan isterinya.
Sebab, si Ahmad, tukang rujak bebeg ini, hidupnya serba pas karena cukup makan, dapat memberi nafkah untuk anak dan isterinya di Indramayu.
Kalaulah ia punya pendidikan di atas sekolah lanjutan atas, maka, tentu hasil yang digapai untuk kehidupan tidak seperti sekarang ini. Dan, Ahmad -- yang sehari-hari biasa mangkal di alun-alun Masjid Al Barkah, Bekasi, -merasa bersyukur dapat berdagang dengan tenang.
"Tidak dikejar petugas ketertiban," Ahmad menjelaskan ketika diajak ngobrol penulis, Kamis (25/10/2018). Sambil menumbuk buah-buhan yang dipesan, ia bertutur, seluruh buah yang dibelinya untuk dagang dalam sehari rata-rata Rp80 ribu.
Dengan modal Rp 80 ribu per hari, ia dapat membayar kontrakan Rp300 ribu per bulan. Juga bisa untuk ongkos pulang kampung, memberi uang untuk anak dan isteri.
Ahmad mengaku rujak bebeg dibuat dengan materi buah-buahan seperti: pisang batu, ubi, jambu air, kedondong, bangkuang. Buah-buahan mentah itu lalu dipotong-potong, dimasukan dalam lesung dengan dicampur gula merah, cabe, terasi, air asem dan garem. Kemudian ditumbuk perlahan-lahan, tetapi tidak sampai halus.
Rujak bebeg yang telah ditumbuk dimasukan ke dalam kotak plastik kecil dan dijual Rp7 ribu per kotak plastik.
Berapa bungkus plastik dalam sehari dapat dijual? Ahmad tak menjelaskannya. Enggan. Tapi, yang jelas, buah-buhannya masih tersisa sedikit. Masih ada keuntungan yang dapat disisihkan untuk bayar kontrakan, untuk anak dan isteri di kampung. Termasuk biaya hidup lainnya.
Harus sabar, katanya sambil menatap penulis yang sesekali memotret wajahnya yang tidak ganteng lagi.