Mohon tunggu...
Edy Supriatna Syafei
Edy Supriatna Syafei Mohon Tunggu... Jurnalis - Penulis

Tukang Tulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Adat Jawa dan Sunda dalam "Satu Gelas" Pesta

8 Oktober 2018   21:13 Diperbarui: 9 Oktober 2018   16:16 3386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sebelum saweran, pengantin dengarkan kidung yang dibawakan seorang pesinden. Foto | Dokpri

Kepala terasa ingin dibenturkan ke tembok. Pusing tak berujung. Untung, hal itu tak dilakukan. Sadar, lalu ingat bahwa tindakan bodoh itu tak memberi jalan keluar. Malah, menambah persoalan. Apabila itu dilakukan, kepala benjol sudah pasti.

Setelah melakukan introspeksi, didapati akar masalahnya. Bukan gara-gara menjadi ketua panitia pesta perkawinan keponakan yang semakin dekat. Ada hal lain yang perlu didalami. Mengatasi kebodohan yang hadir dalam diri secara tiba-tiba nyatanya tidak mudah. Pendapat penulis, peristiwa macam itu bisa terjadi kepada siapa pun.

Kita maklum. Selaku orang tua kala menghadapi perhelatan besar mengalami grogi. Setidaknya, panik. Kepala terasa pusing melintir bisa diobati dengan cukup minum obat, tetapi dapat dipastikan pusing yang dimaksud bukan karena penyakit. Akar masalahnya, karena di situ ada persoalan nyelimet yang tengah dihadapi. Yaitu, menjawab mitos yang masih melekat dalam budaya kita.

Memukau pengunjung. Foto | Dokpri
Memukau pengunjung. Foto | Dokpri
Pertemuan cucu Adam berlainan etnis yang kemudian diikat dalam ijab dan kabul pernikahan kadang "dihantui" cerita yang mengganggu pikiran. Di dalam benak berseliweran, kalau begitu akan begini. Kalau yang dilakukan begini ke depannya begitu.

Beruntungnya, penulis tidak didatangi setan seperti yang dialami aktivis HAM Ratna Sarumpaet kala membuat cerita khayal babak belur dan kemudian melahirkan berita hoaks.

Nah, apa yang dimaksud begini dan begitu itu?

Penari tampil memukai. Foto | Dokpri
Penari tampil memukai. Foto | Dokpri
Dalam sejarah etnis Jawa dan Sunda masih kuat melekat cerita perang bubat. Dalam litaratur disebut bahwa perang terjadi akibat perselisihan antara Mahapatih Gajah Mada dari Majapahit dengan Prabu Maharaja Linggabuana dari Kerajaan Sunda di Pesanggrahan Bubat. Pada perang tersebut seluruh rombongan Sunda disebut tewas.

Konon, dalam budaya Sunda, tidak lazim perempuan -calon pengantin Dyah Pitaloka mendatangi pihak lelaki, Raja Hayam Wuruk. Ketidak-patutan itu dilanggar. Mereka pergi ke Pesanggrahan Bubat. Alasannya, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.

Di sisi lain, Mahapati Gajah Mada menganggap kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda dimaknai sebagai  tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.

Sindet siap membawakan tembang-tembang sunda. Foto | Dokpri
Sindet siap membawakan tembang-tembang sunda. Foto | Dokpri
Tembang kasih sayang dibawakan sinden di hadapan pengantin. Foto | Dokpri
Tembang kasih sayang dibawakan sinden di hadapan pengantin. Foto | Dokpri
Nah, benar, kan! Jauh sebelumnya pihak dewan kerajaan Negeri Sunda keberatan, terutama Mangkubumi Hyang Bunisora Suradipati. Raja Linggabuana memutuskan untuk tetap berangkat ke Majapahit. Karena melanggar, jadilah perang. Akibat perang tersebut, menyisakan luka hingga kini.

Jangan coba-coba cari nama jalan raya di Bumi Pasundan dengan sebutan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan lainnya. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur juga demikian, jangan coba cari nama Jalan Pajajaran. Kalaupun sekarang ada, seperti di Yogyakrta, orang Sunda masih memaknainya sebagai tipu muslihat seperti Mahapati Gajah Mada yang berambisi memenuhi sumpah Palapa.

**

Dalam budaya kita, saat memilih jodoh, masih dipegang kuat panduan bobot, bibit, bebet. Bobot dimaknai sebagai kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun