Kepala terasa ingin dibenturkan ke tembok. Pusing tak berujung. Untung, hal itu tak dilakukan. Sadar, lalu ingat bahwa tindakan bodoh itu tak memberi jalan keluar. Malah, menambah persoalan. Apabila itu dilakukan, kepala benjol sudah pasti.
Setelah melakukan introspeksi, didapati akar masalahnya. Bukan gara-gara menjadi ketua panitia pesta perkawinan keponakan yang semakin dekat. Ada hal lain yang perlu didalami. Mengatasi kebodohan yang hadir dalam diri secara tiba-tiba nyatanya tidak mudah. Pendapat penulis, peristiwa macam itu bisa terjadi kepada siapa pun.
Kita maklum. Selaku orang tua kala menghadapi perhelatan besar mengalami grogi. Setidaknya, panik. Kepala terasa pusing melintir bisa diobati dengan cukup minum obat, tetapi dapat dipastikan pusing yang dimaksud bukan karena penyakit. Akar masalahnya, karena di situ ada persoalan nyelimet yang tengah dihadapi. Yaitu, menjawab mitos yang masih melekat dalam budaya kita.
Beruntungnya, penulis tidak didatangi setan seperti yang dialami aktivis HAM Ratna Sarumpaet kala membuat cerita khayal babak belur dan kemudian melahirkan berita hoaks.
Nah, apa yang dimaksud begini dan begitu itu?
Konon, dalam budaya Sunda, tidak lazim perempuan -calon pengantin Dyah Pitaloka mendatangi pihak lelaki, Raja Hayam Wuruk. Ketidak-patutan itu dilanggar. Mereka pergi ke Pesanggrahan Bubat. Alasannya, karena rasa persaudaraan yang sudah ada dari garis leluhur dua negara tersebut. Linggabuana berangkat bersama rombongan Sunda ke Majapahit dan diterima serta ditempatkan di Pesanggrahan Bubat.
Di sisi lain, Mahapati Gajah Mada menganggap kedatangan rombongan dari kerajaan Sunda dimaknai sebagai  tanda takluk Negeri Sunda dan pengakuan superioritas Majapahit atas Sunda di Nusantara.
Jangan coba-coba cari nama jalan raya di Bumi Pasundan dengan sebutan Gajah Mada, Hayam Wuruk dan lainnya. Di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur juga demikian, jangan coba cari nama Jalan Pajajaran. Kalaupun sekarang ada, seperti di Yogyakrta, orang Sunda masih memaknainya sebagai tipu muslihat seperti Mahapati Gajah Mada yang berambisi memenuhi sumpah Palapa.
**
Dalam budaya kita, saat memilih jodoh, masih dipegang kuat panduan bobot, bibit, bebet. Bobot dimaknai sebagai kualitas diri baik lahir maupun batin. Meliputi keimanan (kepahaman agamanya), pendidikan, pekerjaan, kecakapan, dan perilaku.