Â
Hai negeriku, negeri tercinta, Indonesia.Â
Mengapa bencana datang silih berganti. Maksiat apa yang kau perbuat pemimpin negeri?
Karena maksiat, Allah mengirim bencana bertubi-tubi? Â
Ulama dan pemimpin negeri telah berbuat apa? Maksiat apa?Â
Ulama dan santri telah mengundang bencana karena maksiat yang diperbuat.Â
Ulama dan umara bermaksiat, tak bisa berbuat mencegah maksiat.
Hai Indonesia, negeri tercinta, mengapa bencana tiada henti?
**
Penulis tak tahu apakah kalimat di atas merupakan puisi atau jeritan hati. Sebab, bukan  seorang sastrawan. Selain itu, saya perhatikan pembacanya terlihat tengah kecewa berat. Datangnya bencana atau musibah berupa gempa bertubi disikapinya dengan menyalahkan pihak lain.
Penulis menduga bahwa untaian kata yang meluncur dari mulutnya sebagai jeritan hati. Â Apa lagi yang membacanya itu adalah rekan penulis yang baru belajar membuat puisi. Sungguh, sejenak, menggugah hati.