Perempuan yang kukagumi sekarang ini bernama Ratna Sarumpaet. Ketika ia sering tampil di Taman Ismail Marzuki, perempuan kelahiran Tarutung, Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 16 Juli 1948 itu, yang penulis ketahui adalah aktivis HAM Seniman.
Dulu, penulis sering membolos kuliah hanya untuk menonton pementasannya. Seingat penulis, kala masih muda, salah satu karyanya yang ditonton berjudul Sang Presiden.
Sekarang ia masih tetap dikagumi. Sekedar mengagumi. Boleh, kan? Sebab, ia menjadi akar penyebab media sosial dan media mainstream turut menyebarkan kebohongan. Mbak Ratna Sarumpaet melakukan kebohongan. Ia adalah sumber penyebabnya. Lalu, beberapa hari kemudian diakui sebagai perbuatan bohongnya.
Hebat, kan? Hehehe, sebelum ada pengakuan darinya, kebohongan itu disuarakan oleh calon presiden nomor 02 Prabowo Subianto dan kelompok koalisinya.
Saat itu Prabowo marah. Disebutnya, bahwa kekerasan terhadap perempuan berusia 70 tahun itu sebagai perbuatan seorang pengecut. Untungnya, ini bukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), sehingga anggota keluarga tidak terkena dampaknya seperti seorang makan nangka, semua kena getahnya. Satu orang yang berbuat namun orang lain ikut menanggung akibatnya.
Dengan meyakini dongeng Mbak Ratna, yang punya pengalaman tampil di pementasan, kemudian kebohongan itu dilempar ke publik dengan aroma terkesan menyerang pemerintah Joko Widodo. Maklum Pilpres 2019 makin dekat.
Kehebatan lainnya lagi dari perempuan yang saya kagumi ini adalah si tante mampu menaikan tensi politik. Biar tambah gairah syahwat politik para politisi. Setidaknya, pendapat seperti itu sempat mengemuka sebelum ada pengakuan dari Mbak Ratna.
Polisi bekerja keras. Beberapa hari berupaya mengungkap, mencari jawaban duduk soalnya. Maklum yang bicara babak belur adalah wanita 'kuat' sekaligus sebagai korbannya. Tante Ratna memang pantas disebut perempuan 'kuat'. Alasannya, orang seperti Luhut Binsar Panjaitan (Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia) saja dilawannya. Bagaimana kita yang orang biasa. Wah, apakah nggak ngeri ?
Mungkin saking merasa kuat, ia tak lapor atas kejadiannya kepada polisi. Malah lapor ke Prabowo Subianto. Nah, disini awal timbul kecurigaan. Ia pasti punya maksud 'udang di balik batu'. Setidaknya kasusnya digiring untuk mengadu-domba. Apa lagi ia baru mengungkap kejadiannya setelah sepekan mukanya babak belur.