Puncak haji sudah masuk. Pergerakan jemaah memasuki kawasan Arafah tinggal menunggu jam. Jemaah dari Tanah Air, seperti pada tahun-tahun sebelumnya, ada yang memasuki kawasan tempat wukuf itu lebih awal. Mereka menyebutnya melaksanakan tarwiyah.
Sementara itu di Tanah Air, Umat Muslim pada Senin (20/8/2018) melaksanakan ibadah puasa dua hari menjelang Idul Adha. Para pengurus masjid sibuk menghimpun dana dari warga. Mereka, bagi yang mampu, mengeluarkan uang untuk membeli hewan lalu disembelih seusai melaksanakan shalat Idul Kurban.
Kesibukan juga terlihat di berbagai ruas jalan. Para pedagang sapi dan kambing selain disibukan mencari umpan juga terlihat wara-wiri melayani para pembeli.
Di Tanah Suci, bagi anggota jemaah haji, sejatinya melaksanakan tarwiyah tidak dianjurkan. Tapi ada yang meyakini sebagai amalan sunah dalam berhaji pada 8 Dzulhijah. Disebut tarwiyah lantaran pada zaman Rasulullah, Nabi Muhammad SAW, jemaah mulai mengisi perbekalan air di Mina sebagai persiapan wukuf di Arafah.
Kini para ulama Saudi Arabia tidak lagi memasukan tarwiyah dalam rangkaian ibadah haji. Kementerian Agama (Kemenag) pun ikut aturan di negara tersebut. Alasan lain, pelaksanaan tarwiyah bukan termasuk rukun atau wajib haji.
Tentang mana yang rukun dan wajid dalam berhaji, dapat dibaca pada tulisan sebelumnya (Sprit Haji dan Kemerdekaan RI). Mungkin ada baiknya penulis mengingatkan bahwa niat dalam melaksanakan ritual ibadah haji harus dipegang secara konsisten, sebagaimana ketika hendak bertolak ke Tanah Suci Mekkah dan Madinah.
Namun kendati niat sudah terpatri dalam lubuk hati, tidak mustahil bisa berubah dalam seketika. Mengapa?
Berubahnya niat itu dilatarbelakangi dengan penafsiran terhadap pedoman atau panduan dalam melaksanakan ibadah haji. Bisa pula karena ada kepentingan individu dalam kelompok, sehingga mengorbankan kepentingan yang lebih besar.
Sebagai contoh. Jika ada di antara anggota jemaah haji berkeinginan melaksanakan tarwiyah dan kemudian mengajak anggota lainnya, hal itu berpotensi merusak rasa persatuan kelompok bersangkutan. Bila itu terjadi, bisa melukai hati anggota jemaah lainnya. Lalu disusul suara sumbang, saling ejek karena tidak mau mendengarkan arahan pimpinan regunya. Sekalipun petugas penyelenggara ibadah haji (PPIH) memberi nasihat, pasti dapat dianggap angin lalu.
Karena itu, pihak PPIH Arab Saudi selalu tidak mau memfasilitasi bagi jemaah yang akan melaksanakan tarwiyah. Kalaupun ada anggota jemaah yang memaksa, yang bersangkuta diminta membuat pernyataan. Bahwa, jika dikemudian terjadi sesuatu, pihak PPIH tidak bertanggung jawab.
Pada puncak haji, dengan kemajuan teknologi informasi yang demikian hebat, kadang anggota jemaah haji di lapangan dibuat limbung. Misalnya, apakah seusai Arafah harus mengambil nafar awal atau nafar tsani. Pengalaman penulis, biasanya -- dari tahun ke tahun -- terjadi 'ketegangan' dan perbedaan pendapat di kalangan petugas Media Center Haji. Apakah itu kelompok Madinah, Mekkah atau Jeddah.