Somad tak habis pikir, berulang kali isterinya marah. Berulang kali itu pula para pembantunya ngambek, lantas mudik. Tak kembali lagi lantaran dimarahi hanya persoalan sepele. Misalnya: baju anak-anak diteriska tidak licin, nyuci piring sudah bersih tapi masih bau sabun, meletakan piring di rak tidak tepat pada tempatnya, terlembat ngepel, terlambat bangun padahal tengah menunaikan ibadah shalat subuh dan masih banyak alasan lainnya.
Somad pun makin bungung bila tak ada pembantu, maka dua bocah di rumahnya tidak ada yang mengurus. Menyerahkan urusan anak kepada isteri sama saja menyerahkan anak ayam ke mulut buaya. Maklum, Maisyaroh - isterinya yang tempramental itu, - bersikeras tidak akan mau berhenti dari pekerjaannya.Â
Bagi Somad, isteri bekerja malah menguntungkan lantaran kedua anaknya tak bersentuhan dengan ibu kandungnya yang galak.
Jika ditangani ibunya, dalam berbagai kesempatan, Â dapat dipastikan paha anak-anak memar memerah. Dicubiti. Maklum kedua anaknya super aktif dan cerewet, banyak tanya berbagai hal yang belum diketahui. Apa ini. Apa itu, mengapa begitu. Kenapa tuhan di atas, mengapa harus ke masjid. Mengapa harus bersih badan sebelum shalat. Wah... pokoknya banyak yang ditanyai.
Bagi Somad, pertanyaan yang diajukan bocah cilik di rumahnya sangat wajar. Itu malah menguntungkan bagi orang tua untuk ikut 'mewarnai' kehidupan anak dengan menjawab pertanyaan sambil menjelaskan berbagai hal yang belum diketahuinya. Berbeda dengan ibunya. Wuih, tampil seperti jagoan pasar ikan. Cerewetnya tak bisa dicegah.
Ketika pembantu tidak ada di rumah, Somad tambah pusing. Bukan tidak bisa menangani pekerjaan di rumah, tetapi ia juga harus bekerja. Pekerjaan tidak bisa ditinggal dan itu juga menjadi tanggung jawab lelaki sebagai kepala rumah tangga.Â
Ia pun sadar, isterinya yang juga bekerja semata untuk membatu ekonomi keluarga. Tetapi ia tak dituntut untuk bekerja seperti dirinya. Kalaupun isteri tak bekerja, Somad masih mampu membiayai seluruh anggota keluarga.
Pada suatu kesempatan ia melamun. Lalu ia bertanya-tanya dalam hati, kok sosok perempuan tidak ramah dengan anak-anaknya. Kok perempuan tidak seperti ibu kandungnya sendiri, tidak bisa mencontoh perilaku ibu kandungnya yang ramah dan mengayomi.
Tentang ini, ia sempat bertanya kepada Maisyaroh. Tapi apa yang Somad dapatkan, ia dicaci makinya.
"Saya ini berkontribusi untuk keluarga. Makanya ikut bekerja. Pendidikan saya pun setara dengan abang, sarjana. Apa hak abang bertanya seperti itu," Maisyaroh marah. Dan ia pun makin meluap marahnya, bagai air di dalam bendungan yang keluar deras mengeluarkan suara gemuruh. Kursi di hadapannya dibanting. Somad jadi ketakutan seperti anak ayam pitik lari ke lubang kecil.
**