Dalam kehidupan, manusia pasti akan menghadapi pilihan. Siapa pun dia. Sejak lahir bayi sudah diperkenalkan oleh orang tua melalui suara, kata-kata dan bahasa tubuh agar pada usia akil balig dapat memilih.Â
Memilih warna, kegemaran, pendidikan, pasangan hidup dan pekerjaan agar dalam kehidupan ia dapat bermanfaat bagi diri dan warga sekitarnya.Â
Namun sejak dalam kandungan manusia tidak diajari untuk memilih agama. Di sebagian masyarakat kita, memang ada anak diberi kebebasan memilih agama sebagai pilihan dan pegangan hidup yang diyakini dapat mengantarkannya hidup bahagia. Di sisi lain, anak sudah harus memilih dan memeluk agama yang dianut kedua orang tuanya.
Tapi, pada intinya, agama - menurut orang tua - dianggap demikian penting bagi anak. Dengan beragama, diharapkan anak punya pegangan untuk membedakan dalam memilih mana yang hitam dan putih, mana yang hak dan batil. Memilih dan dipilih kemudian menjadi hak asasi.
Lalu, bagaimana dengan atheisme. Pandangan penulis, meski ia punya hak memilih tetapi yang bersangkutan tidak memiliki pondasi kuat.
Mengapa?
Sebab, fitrahnya di dalam diri manusia sudah ditanamkan ada keyakinan bahwa yang mengatur hidup ini adalah Sang Maha Pencipta di jagad bumi ini. Jika ia tak yakin juga, bisa jadi hal itu merupakan upaya pengingkaran dirinya sendiri.
Sering kita jumpai kala manusia mendapat 'tekanan' berat dalam hidup, patah hati dan putus asa. Lantaran tak mampu menyelesaikan persoalan hidup, ia minta bantuan dokter, bantuan sahabat.Â
Ujungnya, bila tak bisa menyelesaikan akan berakhir dengan bunuh diri. Namun ada pula orang yang menghadapi tekanan berat dalam hati menyebut, kadang terucap, memohon bantuan kepada Tuhan.
"Ya Tuhan, beri kami solusinya."Â Bisa jadi, itu kira-kira kalimat yang keluar dari mulut seorang yang mendustakan bahwa Tuhan itu tidak ada.
Kisah Firaun baru mengakui adanya Tuhan kala mendekati ajal adalah suatu pembelajaran berharga bagi umat manusia.